TEMPO.CO, Mojokerto - Eksploitasi batu bata kuno yang diambil dari bangunan peninggalan masyarakat zaman Majapahit yang masih terpendam dalam tanah di Kawasan Cagar Budaya Nasional Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, sudah lama terjadi. Seperti dikatakan Nasir, 35 tahun, salah satu perajin batu bata di Dusun Bendo, Desa Kumitir, Kecamatan Jatirejo, yang berbatasan dengan Trowulan.
Menurutnya, lahan yang sekarang jadi linggan atau barak-barak tempat pembuatan batu bata di dusun setempat dulunya dimanfaatkan untuk penggilingan batu bata kuno yang dijadikan pengganti semen. “Menurut cerita orang-orang tua, dulu sekitar tahun 1970-an disini dipakai untuk penggilingan batu bata kuno yang dijadikan bahan bangunan pengganti semen,” katanya, Selasa, 18 April 2017.
Baca juga:
Cegah Kerusakan Situs Majapahit, Polres Sosialisasi Cagar Budaya
Batu bata kuno tersebut berasal dari bekas bangunan purbakala yang terpendam dalam tanah dan digali. Nasir mengatakan hingga kini juga masih ditemukan bekas-bekas bangunan purbakala berupa tumpukan batu bata berukuran besar di lahan tempat pembuatan batu bata. “Kalau menemukan batu bata kuno secara tidak sengaja biasanya kami sisihkan dan kami tidak akan menggali lokasi yang ada tumpukan batu bata kunonya,” katanya.
Sejak zaman Majapahit hingga sekarang, Kecamatan Trowulan dan sekitarnya memang jadi sentra pembuatan batu bata. Eksploitasi lahan yang digali tanahnya untuk bahan baku batu bata sudah berlangsung puluhan bahkan ratusan tahun dan dalam skala besar. Tanah-tanah tersebut biasanya disewakan oleh pemiliknya ke penyewa untuk digali tanahnya dan digunakan sebagai bahan baku pembuatan batu bata.
Baca pula:
Situs Purbakala Majapahit Dirusak, Siapa Jaga Arca Bersejarah?
Keberadaan usaha pembuatan batu bata secara tradisional ini menimbulkan keuntungan sekaligus ancaman bagi kelestarian cagar budaya. Jika para perajin batu bata sadar akan pentingnya cagar budaya, maka mereka bisa membantu penemuan bangunan maupun benda cagar budaya. Sebaliknya, jika mereka tidak hati-hati dalam melakukan penggalian tanah dan berlaku curang, maka akan merusak aset cagar budaya yang masih terpendam dan bisa memperjualbelikan benda cagar budaya yang bernilai sejarah dan informasi penting bagi bangsa.
Sejak adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya dan terbitnya Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 260/M/2013 tentang Penetapan Satuan Ruang Geografis Trowulan Sebagai Kawasan Cagar Budaya Peringkat Nasional tertanggal 30 Desember 2013, upaya penyelamatan cagar budaya di Trowulan semakin ditingkatkan.
“Kami terus melakukan sosialisasi untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang pentingnya cagar budaya bagi kehidupan bangsa,” kata Kepala Seksi Perlindungan, Pemanfaatan, dan Pengembangan Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Trowulan Edhi Widodo.
Lembaga maupun kelompok-kelompok seniman, budayawan, akademisi, dan pemerhati sejarah juga berperan dalam menjaga, melestarikan, dan menyelamatkan cagar budaya. Seperti yang dilakukan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), komunitas Save Trowulan, organisasi Peta Hijau, dan sebagainya. BPPI bersama kelompok masyarakat pernah melakukan pemetaan dan pencatatan situs-situs yang banyak tercecer di 66 desa di Trowulan dan sekitarnya pada tahun 2014.
“Sebagai akademisi, kami hanya bisa menghimbau pada pemerintah terutama BPCB Trowulan agar mengoptimalkan sosialisasi ke masyarakat,” kata dosen Ilmu Sejarah Universitas Airlangga (Unair) Surabaya yang juga bekas Direktur Eksekutif BPPI Adrian Perkasa.
ISHOMUDDIN