TEMPO.CO, Jakarta - Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi Mohamad Nasir mengatakan dia mengikuti instruksi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan soal peredaran buku-buku kiri. "Urusan peredaran dan layak atau tidaknya buku kiri, itu kami serahkan di Kemenkopolhukam," kata Nasir di kantornya, Selasa, 17 Mei 2016.
Menurut Nasir, secara pribadi dia membolehkan buku itu menjadi bahan kajian. Namun ia mengingatkan bahwa pendidikan juga harus mengikuti Undang-Undang Dasar 45 dan Pancasila sebagai dasar negara. "Sebagai bahan kajian silakan saja, tapi harus dikaitkan dengan UUD 45 dan Pancasila yang harus dipertahankan," katanya.
Nasir meminta mahasiswa mengikuti UUD 45 dan Pancasila dalam menjalankan pendidikannya. "Pendidikan mahasiswa harus berdasarkan UUD dan Pancasila, khususnya Ketuhanan Yang Maha Esa," katanya.
Razia atribut dan buku-buku yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia akhir-akhir ini juga menjadi perhatian masyarakat. Pemerintah mencoba untuk mencegah lahirnya kembali paham komunis di Indonesia dengan melarang beredarnya atribut dan buku itu dengan berdasar Ketetapan MPR Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia.
Pro-kontra terhadap kebijakan ini pun bermunculan. Pelaksana Tugas Kepala Perpustakaan Nasional Dedi Junaedi mengaku mendukung pemberangusan buku berisi pemikiran kiri itu. Ia menilai buku itu meresahkan. Menurut dia, bila ingin dibaca, harus ada izin dari kejaksaan.
Sebaliknya, ada pula anggota Perwakilan Lingkar Mahasiswa Indonesia, Roy Thaniago, yang menolak adanya pelarangan diskusi, pemutaran film, dan pementasan teater, hingga penyitaan buku-buku yang secara sepihak. Ia menganggapnya sebagai promosi komunisme oleh para aparat penegak hukum.
Ia menilai negara sedang melanggar hukum dan mengabaikan hak sipil yang dilindungi konstitusi. “Kami menilai negara sedang mengabaikan hak-hak sipil yang dilindungi oleh konstitusi di Republik Indonesia,” kata Roy dalam keterangan tertulisnya.
MITRA TARIGAN | DANANG FIRMANTO | SELFY MOMONGAN (MAGANG)