TEMPO.CO, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) membuka sejumlah catatan terkait dengan dunia pers Indonesia dalam peringatan Hari Pers Nasional. Satu dari catatan-catatan yang dibuat adalah kriminalisasi atau tekanan terhadap pers oleh lembaga penegak hukum.
"Kesungguhan aparat dalam menjaga kebebasan pers tidak sejalan dengan kesungguhan Presiden Joko Widodo," ujar anggota AJI, Arfi Bambani, di kantor AJI Jakarta, Selasa, 9 Februari 2016. "Tindak kekerasan terhadap narasumber adalah salah satunya."
Arfi mencontohkan perkara yang menimpa Erwin Natosmal Oemar. Peneliti hukum dari Indonesian Legal Roundtable itu diperkarakan Mabes Polri setelah menjadi narasumber program televisi Indonesian Lawyers Club.
Dalam acara yang ditayangkan pada Agustus 2015 itu, Erwin mengkritik kepolisian terkait dengan kasus Sarpin Rizaldi dengan komisioner Komisi Yudisial. Kritik Erwin sudah dijawab juru bicara Mabes Polri, Inspektur Jenderal Anton Charliyan, kala itu. Namun, enam bulan kemudian, ia diperkarakan.
Contoh lain, kata Arfi, masih banyaknya perkara pidana terhadap pers yang mandek di kepolisian. Jangankan diproses, laporan atau aduan pun tak ditanggapi. Catatan AJI menunjukkan setidaknya ada 14 aduan terkait dengan pers yang tak lanjut diproses oleh korps baju cokelat.
"Kasus pembunuhan jurnalis sejak 1996 pun tak ada yang jelas. Kalau kasus lain, yang memperkarakan pers, mereka cepat merespons dengan alasan tidak bisa menolak laporan," kata Erasmus Napitupulu, peneliti dari Institute for Criminal Justice Reform.
Erasmus beranggapan sikap kepolisian ini malah tertinggal dari tetangga sebelahnya, Tentara Nasional Indonesia. TNI, kata dia, mulai menyelesaikan satu per satu perkara antara personelnya dan awak media. "Setidaknya TNI ada niat memperbaiki diri dibanding kepolisian," tuturnya.
ISTMAN MP