TEMPO.CO, Jakarta - Deputi II Bidang Penindakan Badan Nasional Penanggulangan Teroris Inspektur Jenderal Arief Darmawan mengatakan ada perubahan modus operandi dari kelompok teroris di Indonesia saat ini. "Dulu, zaman Jamaah Islamiyah, mereka terorganisasi rapi, sekarang enggak," kata Arief saat ditemui di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu, 16 Januari 2016.
Ia juga mengatakan, karena tak terorganisasi, sekarang kelompok teroris bergerak serampangan. "Sekarang itu mereka kayak 'Kamu bisa gerak enggak? Kalau bisa, lakukan. Kamu bisa buat bom enggak? Kalau bisa, lakukan', seperti itu," ujarnya.
Mengenai usul agar BNPT melakukan evaluasi atas kejadian teror pada Kamis lalu, Arief menjelaskan pihaknya terus melakukan evaluasi atas kerja-kerja yang telah dilakukan. "Secara periodik, kami lakukan evaluasi itu," ucapnya.
Ketika ditanya apakah ada ancaman spesifik yang akan terjadi berikutnya, Arief hanya mengatakan bahwa para teroris itu pasti berencana menebar teror di mana pun. "Seperti yang terjadi kemarin, itu kan letupan dari kegagalan mereka pada tanggal 25 dan 31 (Desember)."
Saat ditanya apakah Indonesia membutuhkan bantuan dari luar negeri, ia menuturkan hal itu bisa saja dilakukan. Sebagai contoh, ada pertukaran informasi soal kelompok-kelompok teror. "Tukar data melalui badan yang ada, seperti PBB dan Interpol."
Mengenai koordinasi dengan pihak-pihak terkait, seperti polisi, TNI, dan BIN, Arief menyatakan sebenarnya koordinasi itu sudah terjalin dengan baik selama ini. "Koordinasi sudah baik, kok," ia menuturkan.
Adapun pengamat terorisme, Wawan Purwanto, mengatakan aparat keamanan perlu memperhitungkan para pendatang baru yang tergabung dalam kelompok-kelompok bersenjata. Menurut dia, tidak ada jaminan bila pemimpin kelompok telah dilumpuhkan akan membuat situasi menjadi kondusif.
Wawan mencontohkan, saat gembong kelompok radikal di Poso, Daeng Koro, tewas pada April 2015, ada perkiraan bahwa kelompoknya akan melemah, tapi hal tersebut kurang tepat karena tidak memperhitungkan para pendatang baru. “Perhitungannya tidak lantas yang sudah ada saja, tapi juga para new comer-nya,” tutur Wawan saat dihubungi Tempo, Sabtu, 16 Januari 2016.
Kemarin, personel gabungan Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Republik Indonesia, tim 2 TNI Hambus Paniki 433, dan tim Carli 5 Brimob terlibat baku tembak dengan kelompok bersenjata pimpinan Santoso Abu Wardah di Poso, Sulawesi Tengah. Dalam baku tembak tersebut, satu orang dari pihak Santoso tewas. Sampai saat ini, polisi masih mengidentifikasi jenazah tersebut.
Wawan menambahkan, bila yang tewas Santoso, hal itu belumlah cukup. Menurut dia, Santoso memiliki banyak jaringan sehingga semua harus dibuat menyerahkan diri. “Selama teman-temannya masih ada, belum bisa dikatakan selesai,” ucapnya.
DIKO OKTARA | AHMAD FAIZ