TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 72 akademikus yang berasal dari berbagai perguruan tinggi mengirimkan surat kepada Presiden Joko Widodo hari ini, Jumat, 2 Oktober 2015. Surat tersebut meminta Presiden memerintahkan Jaksa Agung menghentikan kasus dugaan pemberian keterangan palsu yang menjerat Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi nonaktif, Bambang Widjojanto.
Para akademikus yang menandatangani surat itu di antaranya guru besar Fakultas Hukum Universitas Andalas, Saldi Isra; dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar; dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar; serta dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti.
"Kami sebagai akademikus mempertimbangkan tujuh hal yang menjadi argumentasi mengapa persidangan pidana ini jangan sampai dilakukan," kata Bivitri Susanti kepada Tempo, Jumat, 2 Oktober 2015. "Jika dilakukan, itu akan merusak sistem peradilan kita. Jadi kami minta Presiden meninjau kembali kasus Bambang ini."
Bambang dijadikan tersangka oleh Badan Reserse Kriminal Polri pada Januari lalu. Ia diduga ikut serta dalam pemberian keterangan palsu terkait dengan sidang sengketa pemilihan kepala daerah Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, di Mahkamah Konstitusi pada 2010. Saat sidang sengketa, Bambang menjadi pengacara Ujang Iskandar, kandidat bupati yang mengalahkan Sugianto Sabran di MK. Sugianto adalah politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang melaporkan Bambang ke polisi.
Menurut Bivitri, ada beberapa pertimbangan yang menjadi landasan para akademikus tersebut meminta Presiden menghentikan kasus Bambang Widjojanto. Pertama, perkara Bambang terjadi ketika ia melaksanakan profesinya sebagai penasihat hukum. Padahal, sesuai Pasal 16 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, diatur bahwa advokat tidak dapat dituntut secara perdata dan pidana saat menjalankan profesi membela klien di pengadilan. "Ini diperkuat dengan rekomendasi Perhimpunan Advokat Indonesia," ujarnya.
Kedua, mempertimbangkan rekomendasi Ombudsman RI dan ringkasan hasil pemeriksaan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia terhadap kasus Bambang Widjojanto yang dilaporkan ke dua lembaga tersebut. Ombudsman merekomendasikan agar dua perwira polisi di Badan Reserse Kriminal Polri dihukum karena diduga melanggar prosedur saat menangkap Bambang pada 23 Januari lalu.
Pertimbangan ketiga, para akademikus ini melihat Badan Reserse Kriminal Polri menerapkan pasal yang berubah-ubah dalam menjerat Bambang. Sangkaan terbaru, Bambang dijerat dengan Pasal 226 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 dan ke 2, serta juncto Pasal 56 KUHP.
Berikutnya, kata Bivitri, nama Bambang Widjojanto tidak pernah disebutkan terlibat dalam kasus kesaksian palsu yang menjerat Ratna Mutiara, dan perkara Zulfahmi Arsyad. Keduanya saksi sengketa pilkada Kotawaringin Barat di MK pada 2010.
Terakhir, ujar Bivitri, penggunaan alat bukti oleh polisi berupa akta otentik yang memuat pencabutan kesaksian empat saksi dalam sidang sengketa pilkada di MK dinilai cacat secara hukum dan tidak memiliki nilai pembuktian.
Bivitri mengatakan beberapa pertimbangan tersebut dicantumkan dalam surat 72 akademikus kepada Presiden. Surat itu disampaikan kepada Jokowi melalui Sekretariat Negara. "Presiden sebagai kepala negara dan pemerintah, kan, bisa memerintahkan Jaksa Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan atau deponeering kasus, sama seperti saat kasus Bibit-Chandra dulu. Sebab, kami lihat kasus ini terlalu mengada-ada," tutur Bivitri. Bibit dan Chandra yang dimaksud adalah Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, mantan Wakil Ketua KPK.
INEZ CHRISTYASTUTI HAPSARI (Magang)