Perubahan Nama
Persoalannya, da perubahan nama "Sultan Hamengku Buwono" menjadi "Sultan Hamengku Bawono" dan penghilangan gelar “khalifatullah”. Juga pengubahan nama anak sulung Sultan, "Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun" menjadi "GKR Mangkubumi", yang ditengarai bakal menjadi pengganti Sultan. Padahal Pasal 18 ayat 1-m UU Keistimewaan menyiratkan syarat bahwa Gubernur DIY harus laki-laki. “Trah kan orangnya banyak. Harus komunikatif. Juga berani. Tidak pekewuh (sungkan),” kata Sukiman.
Sedangkan langkah yang akan dilakukan Semar Sembogo yakni kembali melakukan audiensi dengan DPRD DIY. Tidak tertutup kemungkinan hasil audiensi itu akan disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri dan DPR. “Agar UU Keistimewaan itu tetap lestari,” kata Sukiman.
Sukiman menilai semangat ketiga sabda itu tidak linier dengan isi UU Keistimewaan. Efek sampingnya, ada peninjauan ulang atas isi undang-undang tersebut. Bahkan mungkin undang-undang itu dibekukan atau dicabut. Dia khawatir kewenangan perangkat desa mengelola tanah milik Sultan dan Paku Alam turut dicabut. “Kalau dicabut, sama saja DIY seperti provinsi lain. Kami akan tetap setia kepada UU Keistimewaan tak terbatas waktu,” ucapnya.
Cicit HB II, Kanjeng Raden Tumenggung Suryokusumo, mengaku telah bertemu dengan 15 adik Sultan pada Minggu siang, 31 Mei 2015. Suryokusumo selaku ahli hukum yang pernah mengajar di Universitas Padjajaran, Bandung, dengan nama Profesor Sumaryo Suryokusumo, hadir dalam pertemuan itu untuk memberikan pendapatnya.
Dia pun memberi masukan agar penentuan sikap atas tiga sabda tersebut tidak hanya dilakukan dan mengatasnamakan rayi dalem alias adik-adik Sultan, yang merupakan trah HB IX. Melainkan mewakili seluruh trah Hamengku Buwono I-X.
Alasannya, paugeran yang mengusung sultan dengan konsep Islam atau yang menjadi sultan adalah laki-laki sudah ada sejak Kerajaan Demak berdiri, yakni 530 tahun silam. “Jadi pakai atribut trah HB I-X. Tidak cuma trah HB IX. Putri-putri Sultan juga dilibatkan. Kalau ada beda pendapat, itu wajar,” kata Suryokusumo di Ndalem Suryakusuman, Minggu malam, 31 Mei 2015.
Anggota Komisi A DPRD DIY dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, Agus Sumartono, menyatakan Dewan memandang persoalan itu masih dalam ranah adat Keraton. Hingga kini, belum ada surat untuk DPRD ihwal isi sabda yang menabrak UU Keistimewaan. “Saya lihat belum ada surat masuk. Kalau ada, kami langsung bahas. Ada konsekuensi hukum positifnya tidak,” kata Agus, yang malam itu hadir di Ndalem Suryakusuman.
PITO AGUSTIN RUDIANA