TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Denny Indrayana menilai proses uji materi Undang-Undang tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Mahkamah konstitusi terlalu cepat. "Sangat bertentangan dengan putusan Undang-Undang Pilpres yang lalu," ujar Denny seusai diskusi di Cikini, Jakarta, 6 Februari 2014.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dimaksud Denny adalah putusan Undang-Undang Pemilihan Presiden yang menetapkan pemilu serentak digelar 2019. Pembacaan putusan uji materi itu sempat ditunda selama sembilan bulan. Namun Denny memilih untuk berprasangka baik terhadap proses yang cepat tersebut. "Mungkin karena MK melihat ini adalah hal yang serius sehingga harus diputuskan secepatnya," ujarnya.
Denny mengatakan besok pihaknya akan menghadirkan saksi ahli untuk memberikan keterangan dan pandangan terhadap undang-undang terkait Perpu MK. Kemudian hari Senin dijadwalkan untuk pengambilan kesimpulan dan hari Selasa putusan. "Sebelumnya tidak pernah ada uji materi secepat ini," kata Denny.
Uji materi undang-undang tersebut menyasar pada tiga substansi dalam UU Nomor 4 Tahun 2014. Pertama, untuk mendapatkan hakim konstitusi yang baik, ada perubahan dalam persyaratannya sesuai Pasal 15 ayat 2 huruf i. Syaratnya, seseorang tidak menjadi anggota partai politik dalam jangka waktu paling singkat tujuh tahun sebelum diajukan sebagai calon hakim konstitusi. Kedua, UU ini memuat penyempurnaan mekanisme proses seleksi dan pengajuan hakim konstitusi. Untuk itu, sebelum ditetapkan oleh Presiden, pengajuan calon hakim konstitusi oleh Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden didahului oleh proses uji kelayakan dan kepatutan yang dilaksanakan panel ahli.
Ketiga tentang perbaikan sistem pengawasan yang akan lebih efektif. Caranya dengan membentuk Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang sifatnya permanen. Majelis Kehormatan ini nantinya dibentuk bersama oleh Komisi Yudisial dan MK. Majelis beranggotakan lima orang, yaitu seorang mantan hakim konstitusi, seorang praktisi hukum, dua akademisi yang salah satu atau keduanya berlatar belakang hukum, dan seorang tokoh masyarakat.
Menurut salah satu pemohon, Habiburokhman, UU tersebut layak dipertanyakan karena dianggap belum mendesak untuk dikeluarkan. Kasus dugaan suap yang melibatkan Ketua Mahkamah Konstitusi yang kini non-aktif, Akil Mochtar, kata dia, bukan tentang persoalan pengaturan MK. "Akan tetapi, kasus itu lebih kepada pemberantasan korupsi," kata dia.
Habib mengatakan dalam kasus ini terjadi semacam salah tafsir. Anggapan bahwa dengan adanya pengawasan dari Komisi Yudisial sebuah institusi menjadi lebih bersih ternyata tak selamanya benar. Dia mencontohkan Mahkamah Agung. Walaupun di bawah pengawasan KY, dugaan suap masih banyak terjadi.
TIKA PRIMANDARI
Terkait:
Jenguk Anas, Saan Mengaku Kangen
Kasus Dana Haji, KPK Panggil Jazuli Juwaini
Satu Rumah Adik Atut Belum Tersentuh KPK
Keluarga Atut Diduga Punya Pulau di Tanjung Lesung