TEMPO.CO, Jakarta - Pelukis Djoko Pekik duduk menyilangkan kaki di rumahnya, Dusun Sembungan, Desa Bangunjiwo, Kecamatan Kasihan, Bantul. Pekik biasa melukis di studio miliknya seluas 12 X 8 meter persis di tepi Kali Bedog. Ia mengangkat ponsel tua bermerek Ericson. Pekik Lalu memencet angka pada ponsel sembari memicingkan mata.
Pekik bicara dengan kawan lamanya, Suhardjija Pudjanadi. Pudjanadi adalah seniman yang berhimpun ke Lembaga Kebudayaan Rakyat. Pekik dan Pudjanadi merupakan anggota Sanggar Seni Bumi Tarung. Sanggar seni ini bagian dari Lekra. Pekik menggoda Hardjija agar segera menyiapkan kaos, baju, handuk dan sabun. Pekik bilang saat ini ada cidukan gaya baru.
Celetukan Pekik dalam ponsel itu merupakan cara Pekik mengatasi trauma setelah peristiwa 1965 meletus. Tentara waktu itu memburu Pekik dan seniman Lekra lainnya pada 30 September hampir 48 tahun lalu. Pekik biasa melontarkan guyonan itu ketika menelepon kawan sesama eks tahanan politik. “Guyonan itu kejutan untuk teman eks tapol supaya degdegan,” kata Pekik kepada Tempo lewat ponselnya, Ahad, 29 September 2013 .
Pekik kerap bercanda dengan seniman Lekra lainnya setelah mereka sama-sama bebas dari tahanan militer. Dalam periode tertentu mereka saling bertemu. Pekik menggambarkan seniman Lekra ada yang hidupnya sengsara. Ada juga yang setengah sengsara. Pekik juga bilang seniman Lekra juga ada yang sukses karena lukisannya harganya selangit. “Saya sebagai manusia tidak mau dikalahkan oleh rasa trauma,” kata Pekik.
Seniman kawakan ini juga mengatakan untuk mengatasi rasa trauma, seniman Lekra harus berprestasi. Menurut dia, seniman Lekra harus membuat karya seni yang berbobot. Karya seniman Lekra harus mengagumkan. Trauma berangsur hilang karena seniman giat berkarya. Tentara dan polisi pun ikut kagum pada seniman. (Baca: Lekra Anatomi Sebuah Gagasan dan Buruh Seni Bersatulah)