Menurut Harun, digantinya Wahid oleh Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri pada Senin (23/7) lalu tidak mempunyai dasar hukum. Digantinya Presiden oleh Wakil Presiden hanya dapat dilakukan dengan tiga alasan. Pertama, Presiden mangkat (meninggal dunia), kedua karena berhenti, dan ketiga tidak dapat melaksanakan tugasnya. Pergantian kepemimpinan kemarin tidak memenuhi satupun dari ketiga syarat tersebut. Sehingga, kata Harun, penetapan Megawati sebagai presiden cacat secara hukum.
Ia mencontohkan dua pengalaman sejarah sebelumnya, di mana presiden digantikan oleh bawahannya. Pertama pada 1967, saat Sukarno digantikan oleh Soeharto. Kemudian 1998, saat Soeharto digantikan oleh Habibie. Kedua kejadian itu, kata Harun, sesuai dengan pasal 8 UUD 1945. Sedangkan yang terjadi saat ini tidak.
Ketika ditanya apa yang dijadikan dasar untuk menggantikan Wahid, Harun menjawab “Aturan tata tertib MPR,” kata mantan penasehat hukum Gus Dur ini sambil tertawa. Ia juga mempertanyakan fatwa MA yang mengatakan bahwa dekrit tidak konstitusional. Menurut dia, istilah yang tepat digunakan MA untuk membantah dekrit bukan fatwa, melainkan pertimbangan hukum atau legal opinion. Legal opinion ini pun, menurut dia, dan ini harus dikeluarkan atas permintaan lembaga tinggi negara, dalam hal ini DPR. “Nah gimana, orang DPR-nya sedang istirahat (reses) bisa minta fatwa,” kata dia sambil terkekeh.
Kalaupun dekrit tidak dilaksanakan, jelas Harun, bukan berarti gugur dari hukum. Dekrit hanya tidak efektif karena tidak ditaati oleh aparat negara yang lain. Berbeda dengan dekrit yang dikeluarkan Sukarno pada 5 Juli 1959. (Dian Novita)