Juwono menuturkan hal itu lantaran banyak sekali sengketa lahan antara TNI dan warga yang belum terselesaikan. Juwono pun mengingatkan kejadian di Kebumen sama persis dengan kejadian di Kulon Progo. Kejadian yang juga berpusat pada sengketa tanah antara TNI dan warga.
Mantan Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) menambahkan terdapat ratusan sengketa tanah antara TNI dan warga yang sedang diproses secara hukum. Ini baru yang diproses secara hukum, belum termasuk sengketa di lapangan dan sengketa yang terkait tanah adat, tanah ulayat, dan lainnya.
Sengketa itu terjadi di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan daerah lain. Semasa menjabat sebagai Menteri Pertahanan, Juwono mengaku pernah mengupayakan sertifikasi tanah-tanah yang merupakan milik TNI. "Tapi, pak Joyo Winoto (Kepala Badan Pertanahan Nasional) bilang itu susah," ujarnya.
Alasannya, sertifikasi tanah membutuhkan anggaran yang harus diajukan terlebih dahulu kepada Kementerian Keuangan. Secara finansial, TNI tidak mampu menanggung beban biaya ini karena ketika dikalkulasi biayanya mencapai sepertiga dari total anggaran TNI secara keseluruhan.
Juwono mengakui bentrok di lapangan terjadi karena situasi sering menjadi tidak terkendali. Rakyat merasa punya hak atas tanah dan menganggapnya lebih penting meski tanah tersebut kenyataannya milik negara.
Ia berpendapat peningkatan kesejahteraan rakyat adalah satu-satunya cara agar tidak terjadi lagi bentrok serupa. Jika kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, listrik, dan air bersih terpenuhi, orang-orang yang ia sebut lapar dan marah ini akan tertangani.
Bentrokan antara TNI Angkatan Darat dan warga Desa Sestrojenar, Kecamatan Bulus Pesantren, Kebumen, terjadi Sabtu 16 April lalu. Lebih dari 10 orang mengalami luka karena pukulan atau tembakan. Bentrokan bermula ketika warga menghadang rombongan TNI AD untuk memprotes penggunaan lahan mereka untuk latihan menembak.
KARTIKA CANDRA