TEMPO Interaktif, Jakarta - Wacana perpanjangan masa jabatan Presiden yang dilontarkan anggota Fraksi Partai Demokrat, Ruhut Sitompul, Rabu kemarin langsung menuai kecaman. Ruhut beralasan wacana itu dikeluarkan karena ia khawatir setelah melihat pergantian pemimpin selalu diikuti gonjang-ganjing politik. "Selalu saja rusuh. Makanya, lebih baik diperpanjang. Celah hukum untuk membuat tiga periode itu selalu ada," ujarnya kemarin.
Kontan wacana itu langsung menuai kecaman dari sejumlah kalangan. Mereka menilai usulan itu hanya akan membuat Indonesia berpikir mundur.
Kenapa sih masa jabatan Presiden perlu dibatasi?
Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita mereview pemikiran yang melatar belakangi ide pembatasan itu. Setelah Soeharto terguling, sejumlah elemen masyarakat menuntut, salah satunya adalah perubahan (amandemen) UUD 1945. Tuntutan ini kemudian direspons Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Melalui Panitia Ad Hoc (PAH) I Badan Pekerja, MPR menggodok dan melakukan amandemen sejumlah pasal. Salah satunya pasal 7 tentang masa jabatan presiden.
Menurut mantan anggota PAH I dari PPP, Lukman Hakim Saifuddin, perubahan pasal 7 masuk dalam agenda I yang dibahas pada tahun 1999. Pasal 7 UUD 1945 sebelum amandemen itu berbunyi begini:
"Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali."
Saat itu, kata dia, semua fraksi menyepakati perubahan pasal 7 UUD 1945 itu. "Tidak ada satu pun fraksi yang menolak termasuk Fraksi TNI/Polri," kata Lukman yang saat ini menjabat Wakil Ketua MPR dalam perbincangannya dengan Tempo, Kamis (19/8).
Menurut Lukman, kesepakatan itu dicapai karena semua fraksi menganggap Indonesia perlu belajar dari kepemimpinan dua presiden sebelumnya: Soekarno dan Soeharto.
Karena pasal itu, kata Lukman, Seokarno mengangkat dirinya sebagai presiden seumur hidup. Begitu pun Soeharto, yang mencoba mengakali pasal itu. Dimana ia selalu dipilih terus hingga enam periode.
Mantan Wakil Ketua PAH I BP MPR, Slamet Effendy Yusuf, menambahkan pembatasan terhadap masa kepemimpinan Presiden perlu dilakukan karena untuk keberlangsungan demokrasi. "Jangan sampai demokrasi membuat masyarakat mengkultuskan individu," ujarnya dalam percakapannya dengan Tempo, Kamis (19/8).
Lukman dan Slamet memerinci bahaya jika masa jabatan presiden tak dibatasi. Inilah bahayanya:
1. Seseorang akan otoriter
2. Abuse of Power, menyalahgunakan kekuasaan
3. Regenerasi kepemimpinan nasional macet
4. Seseorang bisa menjadi diktator
5. Timbulnya kultus individu
Bisa jadi dengan menyadari itu semua, kemarin Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung menolak wacana yang dilontarkan kadernya di Partai Demokrat, Ruhut Sitompul itu.
"Kalau ada pikiran apakah mungkin masa jabatan presiden kembali diubah sehingga tidak perlu ada pembatasan, maka seorang SBY akan menolak dan menentang pikiran itu," kata Yudhoyono dalam pidato sambutan peringatan Hari Konstitusi di gedung DPR kemarin. “Ada presiden yang dipilih berulang sampai enam kali. Pelajarannya: kekuasaan yang begitu langgeng menimbulkan permasalahan dan tidak baik di kehidupan bernegara,” ujar Yudhoyono.
FAJAR | DWI RA
BERITA TERPOPULER LAINNYA:
MUI: Yang Menentukan Kafir Itu Allah, Bukan Orang
Meteor Biru Berberntuk Lafadz Allah Jatuh di Cirebon
Kapolda: Perampok Bank Niaga Dilakukan Profesional
Induk Umat Manusia Hidup 200 Ribu Tahun Lalu