TEMPO.CO, Jakarta - Fenomena “I Want SBY Back” yang belakangan muncul tidak bisa diartikan sebagai sinyal bahwa Ani Yudhoyono akan maju sebagai calon presiden dalam pemilu presiden pada 2019. Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya mengatakan publik saat ini tidak akan begitu mudah memilih seorang calon hanya karena punya keterkaitan dengan keluarga bekas pejabat.
Yunarto menuturkan terlalu jauh mengaitkan majunya Ani Yudhoyono, istri mantan presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hanya dengan modal adanya sindrom I Want SBY Back di masyarakat. Menurut dia, spekulasi mengenai terjunnya Pramono Edhie atau Ani Yudhoyono ke dunia politik sudah beberapa kali muncul. Tapi faktanya, menurut berbagai hasil survei, publik tidak memberikan respons yang sangat positif.
“Dengan modal I Want SBY Back, fakta empirisnya adalah publik tidak akan mudah memilih anggota keluarga bekas pejabat. Tidak segampang itu,” ucap Yunarto kepada Tempo di Jakarta, Kamis, 10 September 2015.
Selain itu, Yunarto menilai persepsi publik terhadap mantan pejabat dengan keluarganya belum tentu sama. Jadi publik tidak akan dengan mudah memilih anggota keluarga pejabat. Ia mencontohkan, pandangan publik mengenai Sukarno dan Megawati Soekarnoputri sangat berbeda.
Contoh lain, pandangan pubik terhadap Soeharto dan anak-anaknya juga jauh berbeda. “Ini juga terjadi dalam kasus SBY dan keluarganya. Orang bisa saja terkesan pada SBY, tapi bukan berarti ketika anggota keluarganya terjun politik lalu langsung terkesan,” ujarnya.
Sebelumnya, Edhie Baskoro Yudhoyono alias Ibas menyatakan banyak rakyat yang rindu masa pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Ibas--sebutan akrab Edhie, masyarakat menginginkan SBY kembali menjadi presiden. "Banyak yang rindu dan mengatakan 'I want SBY back'. Saya cuma bisa tersenyum," kata Ibas saat pidato pembukaan ulang tahun Partai Demokrat di Kompleks Parlemen, Senayan, kemarin.
ANANDA TERESIA