Sebab, lanjut dia pengalihan bisnis kebawah departemen pertahanan membuktikan bahwa pengalihan hanyalah langkah kompromistik saja. "Ini hanya pengalihan kompromistik, hanya dengan kacamata bahwa dephan itu institusi sipil," ujarnya. Pertimbangan kompentensi, lanjut dia nampaknya kurang diperdulikan. "Apa dephan punya kompetensi untuk mengelola atau mengawasi bisnis, ini soal bisnis bukan pertahanan".
Jaleswari juga menilai langkah tersebut akan menimbulkan konflik kepentingan di Departemen Pertahanan. Pasalnya sebagian besar pegawai departemen pertahanan adalah anggota TNI aktif. "Mereka kurang memikirkan resikonya, konflik yang mungkin timbul tak akan sebanding dengan nilai aset yang hanya 2,2 triliun," ujarnya. Belum lagi dalam sejarah penilaian Badan Pemeriksa Keuangan, laporan keuangan departemen pertahanan seringkali disclaimer. Baru beberapa tahun ini saja mengalami perbaikan," Jangan sampai kebijakan membawa usaha TNI kebawah dephan malah akan mengembalikan status tersebut".
Fakta bahwa bisnis TNI beragam bentuknya, membuat usaha ini membutuhkan asistensi
institusi yang mempunyai kompetensi dalam urusan penggelolaan bisnis. Jaleswari menyarankan agar pengawasan usaha militer dipercayakan pada PT. Perusahaan Pengelola Aset. "Ini lebih tepat, sebab kompetensinya masuk," ujarnya. Perusahaan persero ini bisa langsung mengidentifikasi dan menertibkan ketika ada unit-unit yang tidak sejalan dengan Undang-undang koperasi dan yayasan.
Hal senada diungkapkan peneliti Imparsial, Bhatara Ibnu Reza. Menurutnya, mengambilalih manajemen usaha militer malah memberatkan Dephan. Tidak menutup kemungkinan laporan keuangan yang telah mendapatkan opini wajar dengan pengecualian dari Badan Pemeriksa Keuangan bisa berubah tahun depan. "Karena pertanggungjawabannya tidak jelas," katanya.
Dia mengingatkan, jangan sampai pengambilalihan bisnis malah membebani keuangan negara. Pengalihan perlu dilakukan secara selektif, dengan memisahkan bisnis yang menguntungkan dan tidak menguntungkan. "Hutang menjadi tanggung jawab perusahaan yang mengelola, bukan pemerintah," kata Bhatara.
TITIS SETIANINGTYAS