TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Pusat PDIP, Deddy Yevry Sitorus menanggapi gugatan yang dilayangkan sejumlah orang yang mengaku kader PDIP ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Menurut Deddy, jika Majelis PTUN Jakarta mengikuti logika para penggugat. Maka, seluruh produk dan konsekuensi hukum yang akan dihasilkan berkelindan dengan hal yang besar, salah satunya pencalonan Gibran Rakabuming Raka di pemilihan Presiden lalu.
"Gibran menjadi Wali Kota Solo itu menggunakan SK DPP PDIP yang dipercepat kongresnya," kata Deddy dalam keterangan tertulis yang diperoleh Tempo, Selasa, 10 September 2024.
Menurut Deddy, SK DPP yang dipercepat itu, jika keputusannya adalah cacat hukum, maka, Gibran adalah termasuk produk yang cacat hukum pula. Walhasil, predikat Gibran sebagai Wakil Presiden terpilih harus dianulir.
"Untuk jadi calon Wakil Presiden kan harus memenuhi kriteria pernah atau sedang menjabat sebagai Kepala Daerah," ujar Deddy.
Jika keputusan PDIP setelah percepatan kongres dinilai tidak sah, kata Deddy, maka bukan hanya Gibran, tetapi seluruh produk hukum di Pilkada 2020 juga dinilai tidak sah karena adanya putusan percepatan kongres partai.
"Karena tahun 2019, PDIP mempercepat kongres dan menyesuaikan mekanisme penyusunan pengurus di daerah dan provinsi untuk menyesuaikan dengan agenda politik nasional pada saat itu," kata Deddy.
Maka dari itu, Deddy mengatakan, gugatan yang dinilai sesat logika ini tidak boleh diteruskan dan difasilitasi, apalagi motivasi gugatannya dianggap sarat kepentingan politis.
Mengutip laman Sistem Informasi Penulusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, gugatan tersebut didaftarkan penggugat atas nama Djupri, Jairi, Manto, Suwari dan Sujoko pada Senin, 9 September kemarin. Gugatan teregister dengan Nomor perkara 311/G/2024/PTUN.JKT.
Menurut penggugat, gugatan diajukan lantaran keputusan PDIP di dalam SK Perpanjangan Kepengurusan tersebut bertentangan dengan Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) partai.
Penggugat mencantumkan empat poin gugatan, antara lain mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya; menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Menkumham Nomor: M.HH-05.AH,11.02.Tahun 2024 Tentang Pengesahan Struktur, Komposisi, dan Personalia Dewan Pimpinan Pusat PDIP Masa Bakti 2024–2025.
Kemudian, mewajibkan Menkumham untuk mencabut Keputusan Nomor: M.HH-05.AH.11.02.Tahun 2024 Tentang Pengesahan Struktur, Komposisi, dan Personalia Dewan Pusat PDIP Masa Bakti 2024–2025; serta enghukum Tergugat membayar biaya perkara.
Dihubungi terpisah, Ketua DPP PDIP lainnya, Ronny Talapessy mengatakan terdapat upaya pihak lain yang mencoba mengganggu PDIP. Menurut ia, jika penggugat mengaku sebagai kader. Maka, sudah seharusnya penggugat paham akan hak prerogratif Ketua Umum.
Apalagi hak prerogratif tersebut diatur dalam konstitusi partai, khususnya pada Pasal 15 ART yang menjelaskan bahwa Ketua Umum memiliki hak prerogratif untuk mengambil Tindakan yang diperlukan dalam menjaga kebutuhan organisasi dan ideologi partai.
"Nampaknya jurus membegal konstitusi sedang mau dicoba diterapkan di sini. Sayangnya, PDIP tidak akan terprovokasi dengan upaya seperti ini," kata Ronny.
Pada 5 Juli lalu, PDIP resmi memperpanjang masa jabatan pengurus DPP periode 2019-2024 hingga ke 2025. Ketua DPP PDIP, Puan Maharani mengatakan usai diperpanjang, para pengurus DPP PDIP akan menjabat hingga Rapat Koordinasi Nasional atau Rakornas partai yang dijadwalkan pada 2025.
Menurut Puan, alasan partainya kembali melakukan pelantikan dan perpanjangan masa jabatan pengurus pusat dilakukan dengan menyikapi situasi politik di 2024 ini. "Ketua umum menyikapi bahwa kepengurusan yang harusnya selesai periode tahun 2024 ini untuk tetap bekerja, membantu, bergotong royong sampai selesainya Pilkada," kata Puan.
Pilihan Editor: Kata PDIP Soal SK Perpanjangan Kepengurusan Digugat ke PTUN