Yang dia maksudkan dengan kerawanan adalah segala hal yang berpotensi mengganggu atau menghambat proses pemilihan yang demokratis. Bagja telah mengungkapkan terdapat lima provinsi dengan tingkat kerawanan tinggi, yaitu Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Jawa Timur.
Bagja menyebutkan skor dari kelima provinsi tersebut tergolong tinggi karena memenuhi empat dimensi indikator kerawanan pemilu, yakni sosial politik, pencalonan (kontestasi), kampanye (penyelenggaraan pemilu dan kontestasi), serta pungut hitung (penyelenggaraan pemilu, kontestasi, dan partisipasi).
Dia mencontohkan kerawanan yang sudah terjadi pada dimensi pencalonan, yakni perubahan regulasi secara mendadak akibat putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada Selasa, 20 Agustus 2024. Putusan Nomor 60/PUU/XXII/2024 itu mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah.
“Ini (perubahan regulasi) akan berakibat terhadap bagaimana sosialisasi kepada peserta pilkada, partai politik yang mengusung, dan kemudian juga bagaimana teman-teman KPU (Komisi Pemilihan Umum) nanti menyikapi dengan petunjuk teknisnya,” tutur Bagja.
Selain perubahan regulasi, potensi penyalahgunaan kewenangan oleh calon dari unsur petahana, ASN (Aparatur Sipil Negara), TNI, dan Polri juga menjadi salah satu indikator kerawanan dalam masa pencalonan. “(Contohnya) seperti melakukan rotasi jabatan,” ucapnya.
Pemetaan kerawanan tersebut bertujuan untuk menjadi basis data dalam menyusun program pencegahan dan pengawasan pada tahapan Pilkada 2024.
Pilihan editor: Peluang Anies Diusung PDIP di Tengah Isu Majunya Pramono Anung di Pilgub Jakarta