TEMPO.CO, Jakarta - Panitia seleksi (pansel) calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi membantah adanya intervensi terhadap proses pemilihan petinggi lembaga antirasuah itu. Menurut Ketua Pansel KPK Muhammad Yusuf Ateh, seluruh prosedur sudah dilakukan dengan cara-cara yang bertanggung jawab.
Ateh tidak ingin menjelaskan secara gamblang terkait isu dominasi aparat penegak hukum (APH) yang mengisi daftar Capim KPK. Sembilan dari 20 Capim KPK yang mengikuti seleksi tes wawancara merupakan APH yang terdiri dari jaksa dan polisi.
"Siapa yang dominasi? Banyak dari luar juga, saya enggak mau jawablah kalau hanya isu," kata Ateh, saat ditemui usai tes wawancara Capim KPK di Gedung 3, Kementerian Sekretariat Negara, Selasa, 17 September 2024. "Pokoknya kita kerja dan tanggung jawab sama Tuhan dan masyarakat."
Ateh juga meminta pihak yang mempersoalkan APH dalam daftar Capim KPK untuk ikut menyaksikan tes wawancara berlangsung. Panitia telah menyediakan sekitar 40 kursi penonton di lokasi seleksi.
Selaku Capim KPK dari kalangan APH, Harli Siregar, turut membantah isu permasalahan netralitas dan intervensi pada seleksi yang dia jalani. Kepala Pusat Penerangan Hukum di Kejaksaaan Agung ini menegaskan bahwa semua orang berkedudukan sama di pandangan hukum.
"Semua kan berpulang kepada prinsip hukum. Ya harus netral dong, emang (netralitas saya) masih diragukan?" kata Harli, saat ditemui di lokasi yang sama, Selasa.
Harli sudah mengetahui bahwa banyak yang mengkritik dirinya selaku jaksa namun ikut berpartisipasi sebagai Capim KPK. Dia menegaskan, sebagai penegak hukum tentunya sikap netral dan tunduk terhadap hukum harus dilakukan. Sebab itu, tidak ada permasalahan jika dirinya ikut proses seleksi sebagai calon petinggi di lembaga antirasuah itu.
"LSM (yang mengkritik) itu juga pasti ada kelompoknya, termasuk kita, termasuk teman-teman kepolisian, siapa saja. Namun saya kira kita harus netral ya," kata Harli.
Harli menyebut, kolaborasi dengan APH bisa memudahkan proses memberantas korupsi, termasuk untuk ranah monitoring, koordinasi, penyelidikan dan bahkan eksekusi. Hal ini yang menurut dia harus dibangun secara bersama-sama.
"Misinya KPK kan bersama elemen masyarakat menjadikan Indonesia bebas dari korupsi. Dari misinya ini salah satunya adalah dengan berkolaborasi dengan aparat penegak hukum. KPK harus memiliki kewenangan yang kuat untuk itu," ucap Harli.
Pandangan Pengamat dan Akademisi
Sebelumnya, peneliti Indonesia Corruption Watch atau ICW, Diky Anandya mengatakan dominasi aparat penegak hukum baik dari kepolisian maupun kejaksaan sebagai Capim KPK berpotensi mengundang persepsi publik ihwal dugaan intervensi terhadap panitia pelaksana lembaga antirasuah itu. "Intervensi dapat berasal dari pihak manapun, misalnya, kalangan eksekutif atau mungkin pimpinan aparat penegak hukum," kata dia dalam keterangan tertulis, Rabu, 11 September 2024.
Selain itu, Ahli Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar mengkritisi besarnya proporsi aparat penegak hukum dalam deretan calon pimpinan atau Capim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari 20 orang Capim, terdapat 9 orang yang berasal dari kalangan polisi dan jaksa.
Menurut pria yang akrab disapa Uceng itu, terdapat paradigma keliru yang telah dipelihara sedari awal seleksi. Kekeliruan itu, kata dia, berupa pandangan bahwa di dalam KPK harus ada unsur polisi dan jaksa. Dia juga melihat gejala intervensi yang besar kepada Pansel dalam proses seleksi Capim KPK.
Uceng menekankan, potensi untuk berlaku tidak independen akan lebih besar jika pimpinan KPK berasal dari kalangan penegak hukum. "Apalagi kita tahu ada semacam 'penugasan' ke KPK, kan," kata Uceng, saat dihubungi Tempo, Ahad, 15 September 2024.
Pilihan Editor: Wawancara 10 Capim KPK Masuki Hari Kedua, Sesi Pertama Disebut Memuaskan