TEMPO.CO, Jakarta - Pada 21 Agustus 2024, Baleg DPR menganulir putusan MK Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan 70/PUU-XXII/2024. Langkah Baleg DPR ini dinilai sebagai pembegalan demokrasi oleh Guru Besar Universitas Gadjah Mada atau UGM, Prof. Koentjoro. Sebab, Koentjoro melihat, ketika Pilpres 2024, rakyat dipaksa sepakat terhadap putusan MK pencalonan Gibran. Namun, saat ini, MK yang memberikan suatu keputusan dalam Pilkada dibegal untuk kepentingan tertentu.
“Saya berbicara sebagai dosen tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Saya tidak rela rakyat Indonesia dibodohi. Rakyat dimainkan dengan trik halus yang berdampak mengerikan dalam kenyamanan hidup dan berbangsa,” kata Koentjoro kepada Tempo.co, pada 24 Agustus 2024.
Koentjoro melihat, rakyat membawa tuntutan bukan hanya menurunkan jokowi, melainkan juga membubarkan DPR. Tuntunan ini membuat DPR tidak lagi hadir sebagai wakil rakyat, tetapi wakil partai politik (parpol).
“DPR sebagai wakil rakyat, tetapi membodohi rakyat. Itu geblek DPR. Pantas, jika dibubarkan karena tidak mewakili rakyat, tetapi memilih parpol,” ujar Dosen Fakultas Psikologi UGM itu.
Koentjoro mengungkapkan, aturan hukum di Indonesia sudah dibolak-balik untuk kepentingan parpol. Namun, sebenarnya, aturan tersebut jauh dari keadilan bagi rakyat karena dibuat dan diubah untuk kepentingan sesaat pihak tertentu, terutama Jokowi dan anak-anaknya.
“Ini bentuk penghambaan kepada raja sehingga semua dipermainkan. Di sini ada pembodohan. Raja Jawa menyuruh rakyat menghormati putusan lembaga negara. Artinya, ia menyuruh menghormati putusan MK dan DPR. Pernyataan ini menunjukkan penghindaran, tidak ada maknanya. Seharusnya, ia memberi petunjuk keputusan ini benar atau enggak?” kata dia.
Meskipun telah menunda sidang pengesahan RUU Pilkada yang menganulir putusan MK, tetapi DPR akan berpegang pada putusan MA. DPR akan membandingkan putusan MK dan MA yang akan digunakan dalam pelaksanaan Pilkada.
“Ini berkelit terus pembodohannya menjadi licik. Ini bisa membawa kehancuran bagi bangsa Indonesia,” kata Koentjoro.
Lebih lanjut, Koentjoro menyampaikan, saat ini, kondisi Indonesia masih belum mencapai puncak dari Petisi Bulaksumur. Namun, guru besar dari perguruan tinggi seluruh Indonesia tetap bekerja sama mempertahankan demokrasi yang seharusnya.
“Kalau puncaknya, belum sampai di situ. Kita tetap on the right step. Kami dari Gadjah Mada melalui Petisi Bulaksumur menunjukkan kampus itu hand in hand yang berarti ada kerja sama luar biasa bersifat tidak tertulis,” ujar Koentjoro.
Koentjoro melihat, perguruan tinggi di seluruh Indonesia saling bersinergi untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Meskipun UGM jauh dari pusat pemerintahan di Jakarta, tetapi akademisi dan guru besar dari kampus sekitar Jakarta turun ke jalan untuk menyuarakan penegakkan demokrasi.
Koentjoro bersama rekan-rekan akademisi dan guru besar lain masih mengawasi dan mengawal putusan MK dalam pelaksanaan Pilkada. Guru besar akan bersatu dengan masyarakat untuk mengawal putusan MK di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) setiap daerah. Ia menyatakan, Indonesia aman, jika pada 28 agustus 2024 sudah dilaksanakan aturan Pilkada 2024 sesuai putusan MK.
“Jika cinta Indonesia, mari kita dukung. DPR juga jangan mencla-mencle. Jika ada keputusan mencla-mencle, tidak akan ada rakyat yang patuh,” ucap Koentjoro mengajak rakyat untuk mengawal putusan MK.
Pilihan Editor: Guru Besar UGM Soroti Tindakan Represif Kepolisian Terhadap Aksi Massa Kawal Putusan MK