TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md., meminta pimpinan partai politik dan DPR tidak melanggar konstitusi dalam pengesahan RUU Pilkada.
"Yth. Pimpinan Parpol dan para anggota DPR. Putusan MK adalah tafsir resmi konstitusi yang setingkat UU. Berpolitik dan bersiasat utk mendapat bagian dalam kekuasaan itu boleh dan itu memang bagian dari tujuan kita membangun negara merdeka," kata Mahfud dalam unggahannya di Instagram @Mohmahfudmd, dikutip Tempo, Kamis, 22 Agustus 2024.
Ia mengatakan masa depan Indonesia terancam jika penguasa bagi-bagi kue kekuasaan dengan melanggar konstitusi.
Menurut eks Ketua Mahkamah Konstitusi ini, ada prinsip demokrasi dan konstitusi yang mengatur permainan politik dan Putusan MK adalah tafsir resmi konstitusi yang setingkat Undang-Undang.
“Adalah sangat berbahaya bagi masa depan Indonesia jika melalui demokrasi prosedural (konspirasi dengan menang-menangan jumlah kekuatan hanya dengan koalisi taktis) siapa pun merebut kue-kue kekuasaan dengan melanggar konstitusi,” kata Mahfud.
Mahfud mempersilakan kroni penguasa bagi-bagi kue kekuasaan asalkan tetap dalam koridor konstitusi agar Indonesia selamat. “Berbuatlah tapi Jangan pernah lelah mencintai Indonesia,” ujarnya.
DPR RI akan mengesahkan RUU Pilkada menjadi UU setelah menyepakati draf RUU ini. Badan Legislasi DPR RI dan Pemerintah menggelar empat rapat selama tujuh jam. Draf ini disepakati dalam waktu sehari.
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan dua putusan pada 20 Agustus kemarin, yakni Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 dan Nomor 70/PUU-XXII/2024. Putusan Nomor 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah dari 20 persen kursi atau 25 persen perolehan suara sah, diturunkan berdasarkan jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Ada empat klasifikasi besaran suara sah berdasarkan putusan MK, yakni 10 persen, 8,5 persen, 7,5 persen dan 6,5 persen, sesuai dengan besaran DPT di daerah terkait.
Berdasarkan klasifikasi tersebjt, syarat ambang batas untuk Jakarta adalah 7,5 persen suara sah. Artinya, PDIP bisa mengusung calon gubernur di Jakarta. Akan tetapi, Baleg DPR RI dan Pemerintah berupaya mengakali Putusan MK ini. DPR memasukan syarat ambang batas di dalam Pasal 40 draf RUU Pilkada. Namun, panitia kerja DPR RI hanya menyepakati penurunan syarat ambang batas Pilkada hanya berlaku bagi partai yang tak memiliki kursi DPRD.
Dalam draf RUU Pilkada, partai politik yang mendapatkan kursi parlemen daerah tetap menggunakan syarat lama ambang batas Pilkada. Partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki kursi di DPRD dapat mendaftarkan calon jika telah memenuhi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Ketentuan RUU Pilkada ini membuat PDIP tidak bisa mencalonkan gubernur dan wakil gubernur di Jakarta.
Sedangkan lewat Putusan Nomor 70/PUU-XXII/2024, Mahkamah Konstitusi memutuskan batas usia minimum calon kepala daerah dihitung sejak penetapan pasangan calon. Alih-alih mematuhi Putusan MK, DPR justru memilih mengikuti Putusan Mahkamah Agung Nomor 23 P/HUM/2024. Putusan MA menyebutkan batas usia 30 tahun untuk calon gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati atau wali kota diubah menjadi berlaku saat pelantikan kepala daerah terpilih.
Putusan MA ini memberikan kesempatan untuk Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, maju di Pilkada. Saat ini usia Kaesang 29 tahun. Ia akan genap berusia 30 tahun pada Desember 2024 atau empat bulan setelah masa pendaftaran calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dibuka. Sehingga menerapkan Putusan MA sama saja membuka peluang bagi Kaesang untuk diusung sebagai calon gubernur.
Dalam draf RUU yang disetujui DPR RI, mereka menetapkan usia paling rendah 30 tahun untuk calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta 25 tahun untuk calon bupati dan calon wakil bupati, serta calon walikota dan calon wakil walikota terhitung sejak pelantikan pasangan terpilih. Ketentuan ini pun otomatis memberi karpet merah kepada Kaesang.
PIlihan Editor: DGB UI Nilai DPR Membangkang Konstitusi, Kembalikan RI ke Era Kolonialisme