Dia menilai praktik kebijakan cleansing guru honorer tidak sesuai amanat Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 tahun 2005. Menurutnya Pemberdayaan guru harus dilakukan secara demokratis, berkeadilan, tidak diskriminatif, dan berkelanjutan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia (pasal 7 ayat 2).
Iman menduga penerapan kebijakan itu adalah upaya menata kebijakan ASN sebagaimana amanat UU Aparatur Sipil Negara nomor 20 tahun 2023. Namun bertentangan dengan UU Guru dan Dosen tersebut.
Iman mengatakan, kasus pengusiran halus itu terjadi juga di wilayah lain di antaranya Kabupaten Garut, Tasikmalaya, Kuningan, Ciamis, Bogor, Bekasi, Subang, Indramayu, Banjar, Majalengka, Pangandaran dan Lampung Utara dengan cerita yang berbeda-beda.
Salah satu kasus yakni geser-geseran guru honorer yang jam mengajarnya terpangkas karena pengadaan guru PPPK.
Ketua P2G Garut, Rida Rodiana menyatakan bahwa fenomena geser menggeser yang terjadi di Jawa Barat itu merugikan guru honorer.
Dia menjelaskan secara umum kuota yang diajukan Pemerintah Daerah selalu lebih kecil separuhnya dari yang diajukan pemerintah pusat. Misal untuk Jawa Barat, jumlah guru P1 sebesar 1.529 orang, jumlah guru non-ASN sebanyak 8.974, namun kuota PPPK 2024 hanya 1.529 orang. Sedangkan angka kebutuhan guru Jawa Barat sebesar 11.583 orang.
"Artinya guru honorer memang tidak mendapatkan kesempatan mengikuti seleksi PPPK. Padahal sekolah membutuhkan tenaga kami," kata Rida.
Rida mengklaim Anggaran Pembelanjaan Daerah (APBD) Jawa Barat yang dikelola Dinas Pendidikan lebih dari Rp 11 triliun. Sementara dengan asumsi gaji Rp 3,7 juta untuk 8.974 guru honorer di seluruh Jawa Barat selama setahun maka hanya dibutuhkan sekitar Rp 465 miliar. Rida mempertanyakan mengapa pemerintah daerah Jawa Barat tidak berani membuka kuota guru PPPK bagi guru honorer.
Dia meminta kepada pemerintah agar seleksi PPPK dituntaskan dan diprioritaskan untuk guru honorer negeri dan honorer sekolah swasta. "Maka kami mendorong supaya kuota PPPK mencakup semua guru baik P1 (PPPK) dan guru honorer (P3).” ucapnya.
Kabid Litbang Pendidikan P2G, Feriyansyah meminta semua pihak untuk tidak melakukan intimidasi kepada guru yang sedang memperjuangkan hak-haknya. Termasuk intimidasi melalui pemanggilan kepala sekolah.
Kendati demikian, Feriyansyah juga meminta meski dibuka seleksi PPPK, seleksi ASN juga dibuka untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.
"Kami juga berharap dihidupkan kembali skema DPK (guru bantu), ini bisa jadi solusi bagi guru swasta yang sudah lulus PPPK namun tidak kunjung mendapatkan penempatan di sekolah negeri. Mereka tetap bisa mengajar di sekolah swasta dengan status perbantuan," katanya.
Tempo berupaya mengkonfirmasi ke Dinas Pendidikan (Disdik) DKI Jakarta soal kebijakan cleansing guru honorer itu. Namun hingga berita ini diturunkan, Pelaksana tugas (Plt) Kepala Disdik DKI, Budi Awaluddin belum mengkonfirmasi.
Wakil Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, Purwosusilo tidak membenarkan dan tidak menepis kebijakan itu apakah berasal dari Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Dia mengatakan bakal mengecek dengan tim untuk kebenarannya.
"Izin kami dalami info tersebut ke tim kami," kata Purwosusilo melalui pesan singkat kepada Tempo pada Ahad malam.
Pilihan Editor: Respons Parpol hingga KPK Soal Pembentukan Pansus Haji DPR