TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP), Hugua mengusulkan agar praktik politik uang dalam proses Pemilu dilegalkan. Sebab, Hugua mengklaim, masyarakat tidak akan memilih politikus yang tidak menggunakan money politics atau politik uang.
“Sebab kalau barang ini tidak dilegalkan, kita kucing-kucingan terus, yang akan (menjadi) pemenang ke depan adalah para saudagar,” ujar Hugua.
Hal itu Anggota DPR asal Sulawesi Tenggara ini sampaikan di hadapan Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Hasyim Asy’ari, Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja, dan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito di Gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat pada Rabu, 15 Mei 2024.
Dikutip dari Politik Hukum Pilkada Serentak (2015) karya Tjahjo Kumolo, politik uang merupakan bahasa halus untuk istilah sogok atau suap. Sebab, pada praktiknya, politik uang merupakan pertukaran uang dengan maksud mendapatkan suara dari calon pemilih yang dilakukan politikus, bisa pribadi atau dari partai. Bahasa gampangnya, jual-beli suara.
"Politik uang adalah upaya mempengaruhi orang lain dalam hal ini masyarakat dengan menggunakan imbalan materi atau dapat juga diartikan jual – beli suara pada proses politik dan kekuasaan serta tindakan membagi-bagikan uang, baik milik pribadi atau partai untuk mempengaruhi suara pemilih," tulis Thajo.
Sementara itu, disadur dari jurnal Justice Pro: Jurnal Ilmu Hukum, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Money Politik Pada Pemilu 2019 oleh Anton Hutomo Sugiarto dkk, uang adalah salah satu faktor determinan untuk bisa maju dalam pemilu. Dengan uang, politikus atau partai bisa melakukan kampanye bersih mengoarkan citra diri dengan berbagai media. Baliho, iklan di media digital, misalnya.
Tapi, citra diri tidak menjamin seseorang menang dalam Pemilu. Uang sogok pun berbicara. Mirisnya, masyarakat masih cenderung apatis terhadap praktik politik uang. Bahkan, sudah menjadi rahasia umum, justru banyak menjatuhkan pilihannya kepada kandidat yang banyak menggelontorkan "barang-barang bantuan". Itulah mengapa banyak politikus bergeming terhadap larangan politik uang.
Regulasi Larangan Politik Uang
Larangan politik uang tampaknya tak mempan meskipun tertuang dalam dua beleid sekaligus, yakni dalam Peraturan KPU atau PKPU Nomor 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam PKPU, larangan tersebut dituangkan dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dan Pasal 72 huruf c, d, dan, e.
"Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye," bunyi Pasal 69 ayat (1) huruf j.
Sedangkan Pasal 72 PKPU disebutkan bahwa pelaksana dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye secara langsung atau tidak langsung untuk: c. Memilih Pasangan Calon tertentu; d. Memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu. dan/atau e. Memilih calon anggota DPD tertentu.
Sementara dalam UU Pemilu, larangan politik uang tertuang pada Pasal 278 ayat (2), Pasal 280 ayat (1) huruf j, Pasal 284, dan Pasal 286 ayat (1):
1. Pasal 278 ayat (2)
"Selama Masa Tenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276, pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu Presiden dan wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk:
a. tidak menggunakan hak pilihnya;
b. memilih Pasangan Calon;
c. memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu
d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tertentu; dan atau
e. memilih calon anggota DPD tertentu."
2. Pasal 280 ayat (1) huruf j
“Penyelenggara, peserta hingga tim kampanye dilarang menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu."
3. Pasal 286 ayat (1)
“Pasangan calon, calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, pelaksana kampanye, dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk memengaruhi penyelenggara Pemilu dan/atau Pemilih."
Umumnya politikus jarang terciduk walau banyak yang melakukan politik uang, lantas bagaimana jika kandidat terbukti melakukan politik uang? Selain sanksi administratif, pelaku ternyata juga bisa dijatuhi pidana baik denda maupun penjara. Pidana tersebut bahkan tidak dapat menghapus saksi administratif yang telah dijatuhkan.
Sanksi Administrasi
Bila terbukti melakukan pelanggaran, maka Komisi KPU dapat mengambil tindakan berupa pembatalan nama calon kandidat, baik itu anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari daftar calon tetap maupun pembatalan penetapan calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagai calon terpilih. Adapun Sanksi dijatuhkan berdasarkan rekomendasi Bawaslu.
Sanksi pidana
Sanksi pidana pelanggaran politik uang diatur dalam Pasal 515 UU Pemilu. Menjanjikan atau memberikan uang atau materi secara sengaja kepada pemilih di hari pemungutan suara untuk mempengaruhi mereka agar tidak memilih atau memilih peserta pemilu tertentu dikenai pidana penjara maksimal tiga tahun dan denda paling banyak Rp36 juta.
"Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah)."
Aturan lainnya terdapat dalam Pasal 523. Berdasarkan beleid ini, ada tiga penggolongan sebagaimana diatur dalam ayat 1, 2 , dan 3.
Pasal 523 ayat 1: “Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta kampanye Pemilu secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 280 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp 24 juta”.
Pasal 523 ayat 2: "Setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada Masa Tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada Pemilih secara langsung ataupun tidak langsung sebagaimana dimaksud dalam Pasal 278 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah)."
Pasal 523 ayat 3: “Setiap orang yang dengan sensaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | AMELIA RAHIMA SARI
Pilihan Editor: Politikus PDIP Bilang Usulan Melegalkan Money Politics Pernyataan Sarkasme