TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR RI telah menyepakati rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Keempat atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kesepakatan perihal revisi UU MK itu diungkapkan oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Hadi Tjahjanto pada Senin, 13 Mei 2024.
Pembahasan RUU MK digelar secara diam-diam pada hari terakhir reses atau 13 Mei lalu. Pengesahan revisi UU MK di tahap pertama ini menimbulkan polemik, karena dianggap bisa melemahkan independensi MK.
1. Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva: Ancaman bagi Indonesia sebagai Negara Hukum
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan revisi UU MK tak hanya menjadi ancaman bagi independensi lembaga peradilan, tetapi juga ancaman sangat serius bagi Indonesia sebagai negara hukum. Sebagai negara hukum, kata dia, fondasi pokok Indonesia adalah independensi lembaga peradilan.
"Kalau lembaga peradilan kehilangan independensinya, maka tamatlah riwayat negara hukum itu," kata Hamdan dalam diskusi 'Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi' pada Kamis, 16 Mei 2024.
Hamdan mengatakan pintu masuk yang mengancam fondasi negara hukum biasanya berkaitan dengan proses rekrutmen hakim, masa jabatan hakim, dan hal-hal lain di luar masalah kewenangan hakim.
Dia mengatakan UU MK sebelumnya telah tiga kali diubah. Poin utama dari seluruh perubahan itu, kata Hamdan, adalah masalah masa jabatan dan pengawasan hakim. Dua hal ini yang menjadi masalah bagi independensi MK.
Melalui revisi terbaru, Hamdan menilai hakim MK akan bergantung pada lembaga pengusul karena, dalam revisi UU MK terbaru, masa jabatan hakim MK maksimal 10 tahun. Namun, setelah menjalani lima tahun pertama, hakim MK perlu mendapatkan persetujuan untuk menjalani lima tahun berikutnya dari lembaga pengusul.
Dia mengatakan aturan sebelumnya lebih memberikan kepastian masa jabatan hakim. Hakim MK mendapatkan kesempatan diangkat kembali tanpa adanya persetujuan. Sementara, dalam revisi UU MK terbaru, Hamdan menilai kepastian jabatan hakim MK tidak jelas.
"Sehingga sangat besar ruangnya ketentuan mengenai persetujuan ini akan berdampak pada independensi dari hakim konstitusi itu sendiri," ucapnya.
2. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan: Ada Lima Masalah Prosedural
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) mengungkapkan sejumlah persoalan prosedural dalam rancangan perubahan keempat UU MK. PSHK menemukan lima masalah prosedural dalam revisi tersebut.
Pertama, perencanaan perubahan keempat UU MK tidak terdaftar dalam daftar panjang Prolegnas 2020-2024. Revisi ini juga tidak terdaftar dalam Prolegnas Prioritas 2024 atau dalam daftar kumulatif terbuka 2024.