"Kedua, pembahasan pada pembicaraan tingkat I dilakukan secara senyap, tertutup, dan tergesa-gesa," kata PSHK dalam keterangan tertulis pada Kamis, 16 Mei 2024.
PSHK menyebutkan proses ini tidak melibatkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP dan terdapat sejumlah anggota Komisi III DPR yang tidak mengetahui adanya pembahasan RUU MK pada pembicaraan tingkat pertama.
Ketiga, PSHK menilai kanal partisipasi publik ditutup dan dokumen rancangan undang-undang tidak dapat diakses. Pokok-pokok pembahasan perubahan keempat UU MK juga tidak dipublikasikan secara luas, bahkan draf RUU dan naskah akademik tidak dapat diakses di kanal resmi DPR maupun pemerintah.
"Keempat, pembahasan memanfaatkan masa lame duck (bebek lumpuh) atau masa transisi menuju pemerintahan periode baru untuk segera mengesahkan perubahan keempat UU MK," tulis PSHK.
Keputusan ketatanegaraan yang bersifat signifikan tidak seharusnya diambil di masa transisi, karena berpotensi menimbulkan persoalan legitimasi keputusan.
Kelima, pembahasan RUU MK dilakukan di masa reses, bukan di masa sidang. "Seharusnya, DPR berfokus menyerap aspirasi konstituen pada masa tersebut, bukan kebut-kebutan membahas undang-undang yang krusial bagi masa depan kekuasaan kehakiman," tulis PSHK.
3. Ketua MKMK I Dewa Gede Palguna: Suka-suka Mereka Saja
Ketua Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) I Dewa Gede Palguna menyoroti revisi UU MK yang dibahas diam-diam saat masa reses.
"Dan tidak semua anggota DPR juga tahu, sebagian masih di luar negeri, ini kan menimbulkan pertanyaan," ujarnya dalam diskusi 'Sembunyi-sembunyi Revisi UU MK Lagi' pada Kamis, 16 Mei 2024.
Mantan Hakim MK ini ragu apakah ahli yang menyampaikan pendapat mengenai revisi UU MK masih didengar oleh DPR. Dia menyebut DPR sering tak transparan dalam membuat undang-undang.
"Masih berguna enggak sih, orang-orang ahli itu bicara soal itu (RUU MK)? Masih didengarkan omongan kita ini oleh pembentuk Undang-undang? Kan suka-suka mereka saja, besok bikin UU apa tiba-tiba sudah disahkan saja," ujarnya.
Palguna mengatakan, nantinya jika ada pihak yang keberatan, DPR biasanya meminta menyelesaikannya di MK. Menurut dia, mekanisme itu tak lagi bisa diandalkan karena saat ini MK dilemahkan melalui revisi UU MK. "Ini kan rancangan yang mengarah ke situ (pelemahan MK) juga," kata dia.
Palguna menyoroti revisi UU MK Pasal 23 ayat 1 yang membatasi masa jabatan hakim konstitusi selama 10 tahun. Dia menilai revisi ini sudah jelas bisa mempengaruhi independensi hakim MK.