PWI: Menghambat tugas jurnalistik
Ketua Umum PWI Hendry Ch Bangun mengatakan, larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi sebagaimana yang dimuat pada Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran tertanggal 27 Maret lalu, berbenturan dengan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Hendry mengatakan, selama ini semua berita di seluruh platform masuk ke wilayah UU Pers dan ditangani oleh Dewan Pers, apabila ada sengketa atau pengaduan masyarakat.
"Kalau UU Penyiaran versi baru ini tetap seperti ini tentu ada benturan antara UU Pers dan UU Penyiaran yang baru," ujar Hendry saat dihubungi Tempo pada Senin, 13 Mei 2024.
Hendry menilai, kerja jurnalistik tidak boleh dibatasi dengan dalih apa pun. Pers bekerja untuk memenuhi hak masyarakat atas informasi yang benar. Larangan untuk menyiarkan konten ekslusif jurnalisme investigasi jelas berupaya menghambat tugas jurnalistik.
Padahal, kata Hendry, jurnalistik investigasi amat dibutuhkan karena sumber-sumber resmi sulit memberikan informasi yang dibutuhkan oleh wartawan. Hal ini berlaku tidak hanya di media cetak tapi termasuk juga media penyiaran.
Selain itu, RUU Penyiaran ini juga akan mengakibatkan adanya bentrok penyelesaian pengaduan yang akan membuat bingung masyarakat dan pelaku pers. Pasalnya, selama ini KPI hanya mengurusi isi siaran non berita. Dengan usulan UU Penyiaran baru ini, KPI punya kewenangan juga soal berita.
"Bahkan istilah penyiaran diperluas ke semua jenis siaran termasuk di medsos," ujar dia.
AJI: Upaya membungkam pers
Sekretaris Jenderal AJI Bayu Wardhana meminta agar DPR menghapus pasal bermasalah dalam RUU Penyiaran. Salah satu pasal yang dinilai bermasalah, adalah pasal 56 Ayat (2) butir c.
Pasal ini mengatur ihwal pelarangan media menayangkan konten atau siaran eksklusif jurnalisme investigasi. Bayu mengatakan, Pasal tersebut jelas membingungkan.
"Ini sebuah upaya pembungkaman pers yang sangat nyata," kata Bayu saat dihubungi, Sabtu, 11 Mei 2024.
DPR, lanjut Bayu, mestinya menjadikan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sebagai rujukan utama dalam penyusunan pasal yang mengatur tentang penyiaran karya jurnalistik. Akan tetapi, konsideran draft RUU Penyiaran tidak mencantumkan Undang-Undang Pers sama sekali.
Karenanya, Bayu meminta pasal tersebut harus dihapus sebab tidak ada dasar yang jelas bagi DPR untuk melakukan pelarangan terhadap media dalam menayangkan atau menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi. "Bila dibiarkan ini menghambat kebebasan pers. AJI menolak RUU Penyiaran," ujar Bayu.
Selain Pasal 56 Ayat (2) butir c, AJI juga menyoroti pasal 25 Ayat (1) butir q yang mengatur ihwal sengketa jurnalistik. Menurut Bayu, peluang tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Dewan Pers di pasal tersebut tidak relevan.
Sebab, selama ini kasus sengketa jurnalistik di penyiaran selalu ditangani oleh Dewan Pers. Draf RUU Penyiaran, kata Bayu, seakan bertujuan mengambil alih wewenang Dewan Pers dan akan membuat rumit sengketa jurnalistik. "Ini bermasalah dan harus ditolak," ucapnya.