TEMPO.CO, Jakarta - Ahli politik dan pemerintahan Universitas Gadjah Mada (UGM) Abdul Gaffar Karim mengungkapkan bahwa sidang sengketa pilpres di Mahkamah Konstitusi atau MK telah membantu meredam suhu pemilu.
"Saya menemukan bahwa yang tidak pernah dilihat oleh para pengamat, oleh para ilmuwan adalah fungsi persidangan di MK sebagai mekanisme untuk meredam konflik," kata Abdul dalam diskusi Eksaminasi Publik atas Putusan MK tentang Pilpres 2024 secara virtual pada Sabtu, 4 Mei 2024.
Abdul menuturkan, di tengah kritisisme intelektual yang sangat kuat terhadap sidang sengketa pilpres, dirinya melihat perlu ada sudut pandang positif. Yakni, proses persidangan di MK telah turut membantu meredam suhu pemilu di Indonesia.
Menurut Abdul, ini menjadi penting karena pemilu di Indonesia sebenarnya kehilangan fungsi untuk meredam konflik. Pemilu di Indonesia, kata dia, justru seringkali melahirkan konflik-konflik baru.
"Padahal, prinsip Pemilu sebenarnya untuk mengelola konflik agar konfliknya diselesaikan dengan suara rakyat," tutur Abdul.
Dia menjelaskan, daripada pemilihan pemimpin diselesaikan dengan cara misalnya adu panco, lomba lari, atau seperti zaman dulu dengan perang, lebih baik dialihkan dengan suara rakyat yang disalurkan lewat surat suara.
"Tapi urusan suara rakyat itu kan tidak simpel, tidak sederhana," ucap Abdul.
Sebab, tidak ada pijakan ideologi yang jelas antara ketiga paslon, yaitu Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka, dan Ganjar Pranowo-Mahfud Md. Oleh sebab itu, konflik antara pendukung mereka diarahkan pada hal yang lain. Misalnya, isu etnis, agama, dan sebagainya.
"Lihat konflik di DKI, Arab lawan Cina. Jadinya kan begitu dulu itu Ahok lawan Anies saking enggak bisa orang membedakan ideologis, isu-isu etnisnya yang dikeluarkan, agama yang dikeluarkan," ujar Abdul.
Pilihan Editor: Hakim MK Naik Pitam Komisioner KPU Absen di Sidang Pileg: Sejak Pilpres Enggak Serius