TEMPO.CO, Jakarta - Lima Jurnalis Tempo— Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Donggoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono—yang menjadi pengisi siaran podcast Bocor Alus Politik mendapatkan Oktovianus Pogau Award dari Yayasan Pantau. Jurnalis Tempo dinilai berani meliput dengan kritik berbagai usaha Presiden Joko Widodo atau Jokowi mengonsolidasikan kekuasaan.
Pemimpin Redaksi Tempo, Setri Yasra, mengapresiasi penghargaan dari Yayasan Pantau untuk lima jurnalis Bocor Alus itu. Dia menilai apresiasi tersebut sangat berarti untuk menjalankan tugas jurnalistik menjadi lebih baik.
“Apresiasi ini juga semakin membuktikan Bocor Alus, sebagai terobosan dan medium baru Grup Tempo Media untuk menyiarkan berita dan informasi ke khalayak (audiens) berhasil dengan sangat baik,” kata Setri saat dihubungi pada Rabu, 31 Januari 2024.
Selain itu, Setri menyebut Bocor Alus juga salah satu bagian dari di Tempo, yaitu Majalah Tempo, Koran Tempo Digital, dan Tempo.co yang bekerja untuk kepentingan publik dan republik. Menurut dia, kepentingan publik dan republik selalu mendapat tempat paling wahid di Tempo.
“Semua peristiwa yang menyangkut kepentingan publik dan republik akan selalu mendapat tempat paling atas dalam pemberitaan Tempo. Politik dinasti Jokowi yang telah banyak merusakan tatanan demokrasi, runtuhnya muruah Mahkamah Konstitusi dan potensi pelbagai kecurangan dalam Pemilu 2024, salah satu contohnya,” kata dia.
Tak hanya itu, sebagai pucuk pimpinan di redaksi Tempo, Setri mengapresiasi lima jurnalisnya yang mengampu Bocor Alus. Bersama tim TV Tempo, kata dia, lima jurnalis itu terus bekerja keras menjaga Bocor Alus hingga sekarang.
“Semua ini kami dedikasikan untuk seluruh pembaca yang mendorong tumbuhnya jurnalisme berkualitas. Tempo akan selalu hadir untuk publik dan republik,” kata Setri.
Salah satu pembawa acara itu, Stefanus Pramono, mengatakan Bocor Alus tumbuh dan berkembang bersama publik. Menurut dia, semua isu yang diangkat dalam siniar itu terkait dengan kepentingan masyarakat luas.
“Kami selalu berupaya memberikan informasi terpercaya yang diverifikasi dengan ketat dan memenuhi kaidah jurnalistik,” kata Pram, demikian pria ini akrab disapa.
Pram mengatakan pihaknya selalu menaruh perhatian besar pada persoalan demokrasi. Salah satunya soal dinasti politik Jokowi.
“Kami membongkar skandal Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan bagi putra Presiden untuk maju sebagai calon wakil presiden. Kami juga mengungkap apa yang terjadi di keluarga Solo dan kengototan Ibu Negara untuk membuat putranya melanjutkan kekuasaan suaminya,” kata dia.
Menurut Pram, tidak boleh ada ruang sedikit pun di negara demokrasi untuk politik dinasti, termasuk dinasti Jokowi. Dia menilai dinasti politik selalu merusak demokrasi dan melahirkan praktik pemerintahan yang buruk seperti korupsi.
“Penghargaan ini bukan hanya untuk kami dan Tempo, tapi untuk publik yang membutuhkan informasi terpercaya dalam kondisi demokrasi yang buruk sekali pun,” kata Pram.
Sebelumnya, Yayasan Pantau menilai Egi Adyatama, Francisca Christy Rosana, Hussein Abri Donggoran, Raymundus Rikang, dan Stefanus Pramono, sebagai jurnalis media cetak yang berani masuk ke media siaran guna menerangkan berbagai manuver hukum dan politik dari Istana Merdeka.
“Dari liputan wartawan di lapangan, dorang buang suara dalam Bocor Alus. Bocor Alus itu penting, termasuk buat kitorang di Tanah Papua, karena wartawan biasa turun ke lapangan, wawancara banyak sumber, bukan sekadar omon-omon,” kata Yuliana Lantipo dari Yayasan Pantau seperti dikutip dalam keterangan tertulis.
Menurut Yuliana meliput soal Presiden Jokowi, bukan pekerjaan mudah karena dia bergerak tertutup, baik lewat komunikasi pribadi maupun perantaraan orang kepercayaan dan keluarganya. Namun, kata dia, Presiden Jokowi canggih dalam public relations.
“Jokowi mampu membentuk citra dirinya,” kata Yuliana.
Sejak periode kedua di 2019, Yuliana menilai Presiden Jokowi melakukan berbagai manuver guna mencapai berbagai ambisinya, termasuk bangun ibukota Nusantara di Pulau Kalimantan. Bocor Alus mencoba menerangkan sesuatu yang masih berlangsung.
“Ini bukan pekerjaan mudah karena perlu waktu lama guna menilai berbagai manuver Jokowi. Dan waktu adalah barang mewah dalam jurnalisme,” kata dia.
Selain itu, Yuliana menyebut Jokowi juga diduga melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi, mendorong pembuatan Omnibus Law yang langgar hak buruh, melakukan hilirisasi tambang tanpa perlindungan lingkungan hidup, serta masyarakat adat. Tak hanya itu, dia menyebut bekas Gubernur DKI Jakarta itu juga meresmikan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dengan puluhan pasal yang melanggar standar hak asasi internasional, membuat revisi aturan pemilihan umum yang gubernur, walikota, dan bupati langsung selesai masa jabatan, sesuai waktu, dan penjabat diangkat Presiden Jokowi tanpa pemilihan.
“Presiden Jokowi juga membuat aturan dimana pejabat militer dan polisi bisa dijadikan sebagai pejabat sipil –praktik yang sama dengan pemerintahan Presiden Soeharto dalam apa yang disebut Dwifungsi ABRI,” kata Yuliana.
Kemudian, Yuliana menyebut fenomena kontroversial soal Presiden Jokowi adalah membuat putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka menjadi calon wakil presiden pada 2023 mendampingi Prabowo Subianto.
“Jokowi beri kontribusi besar dalam menciptakan situasi tersebut, diduga lewat iparnya, Anwar Usman, selaku ketua Mahkamah Konstitusi, membengkokkan persyaratan calon presiden dan wakil presiden agar Gibran, yang baru umur 36 tahun, bisa mengatasi syarat usia minimal 40 tahun,” kata dia.
Selain memberikan penghargaan, Yayasan Pantau juga mengkritik Bocor Alus, terutama ketika membahas peranan Iriana, istri Presiden Jokowi, dalam melapangkan jalan Gibran menjadi calon wakil presiden. Yuliana menyebut ketika Bocor Alus mengupas soal Iriana, Tempo seolah mengedepankan Iriana bergerak sendiri sekaligus sebagai tindakan yang menyudutkan perempuan.
“Kritik harus diperhatikan dan Tempo perlu bikin evaluasi agar tak ada lagi liputan yang merendahkan perempuan,” kata Yuliana Lantipo.
Meski demikian, Yuliana menyebut independensi dari sumber, maupun kekuasaan politik, militer, ekonomi, agama, dan lainnya, adalah elemen jurnalisme. Tempo, juga Bocor Alus, punya tradisi buat selalu mempertanyakan independensi mereka.
“Verifikasi adalah esensi dari jurnalisme. Verifikasi itu perlu agar kitorang berpikir, agar kitorang kasih turun lewat komputer jadi tulisan. Tulisan di layar komputer bisa dibaca ulang, disunting dan dibuat sebetul-betulnya. Bocor Alus adalah omon-omon dengan dasar verifikasi,” kata Yuliana.
Pilihan Editor: Istana Bantah Narasi Ketidaknyamanan Menteri di Kabinet Jokowi Jelang Pemilu 2024