TEMPO.CO, Jakarta – Tempo menggelar pelatihan jurnalisme konstruktif atau constructive journalism selama tiga hari sejak Ahad, 28 April 2024. Pengajarnya Henrik Grunnet dari Constructive Institute dan penasihat senior International Media Support yang berpusat di Denmark. Pelatihan diikuti oleh 21 jurnalis senior.
Menurut Henrik, jurnalisme konstruktif tengah berkembang di dunia dan diterapkan oleh media-media besar. Jurnalisme konstruktif, menurut Henrik, merupakan respons dunia pers atas berkembangnya bias negatif di kalangan wartawan dan merebaknya kabar bohong yang difabrikasi oleh pemain politik untuk meraih kekuasaan.
Akibatnya, tingkat kepercayaan publik terhadap media runtuh. Media dianggap sebagai medium penyebaran kabar buruk dan berita bohong yang membuat informasi kredibel terlindas oleh berita viral yang tak relevan dengan kepentingan publik.
Jurnalisme konstruktif disebut juga jurnalisme masa depan. Ambisi konsep jurnalisme ini adalah berkontribusi pada demokrasi melalui peran kritis dan pengawas media sehingga publik menemukan solusi yang relevan atas pelbagai problem-problem yang mereka hadapi.
Karena itu ada tiga pilar jurnalisme konstruktif: fokus pada solusi, mengabarkan konteks dan nuansa, serta mempromosikan percakapan demokratis. Pilar fokus pada solusi membuat wartawan tak sekadar mengekspos masalah melalui investigasi, juga menyodorkan solusi yang mungkin bisa dipakai untuk menyelesaikannya.
Pilar kedua menyajikan nuansa mendorong jurnalis melihat masalah dari dua sisi. Sering kali sebuah topik menyajikan area abu-abu. Jurnalisme konstruktif tak melihat sebuah problem secara hitam-putih, baik atau buruk, namun menggali akar masalah sehingga publik mendapatkan konteks yang komplet atas sebuah isu.
Pilar ketiga jurnalisme konstruktif adalah menjadikan berita sebagai arena percakapan publik dengan melibatkan kelompok marginal. Setiap kelompok masyarakat yang terlibat dalam sebuah masalah atau topik punya ruang yang setara sehingga pembaca mendapatkan ragam perspektif secara luas dan komprehensif.
Karena itu, kata Henrik, jurnalisme konstruktif bukan menyajikan berita positif, namun imparsial dalam melihat sebuah fakta karena para wartawan hendak membawa sebuah topik menjadi percakapan orang banyak. Sebagai jurnalisme masa depan, kata Henrik, jurnalisme konstruktif telah melampaui berita cepat bahkan berita investigasi. Sebab, seorang wartawan tak akan bisa menyajikan cerita konstruktif tanpa menginvestigasi masalahnya secara benar dan mendalam.
Wakil Pemimpin Redaksi Tempo Bagja Hidayat menambahkan bahwa konsep jurnalisme konstruktif akan diterapkan dalam skala newsroom di Tempo. Konsep ini akan menjadi tulang punggung pengemasan berita saat implementasi single brand yang dimulai pertengahan Mei 2024.
Menurut Bagja, Tempo sedang punya hajat besar mengintegrasikan produk dan layanan menjadi satu platform. Saat ini Tempo memproduksi berita dalam tiga platform: online melalui tempo.co, berita dan analisis harian melalui Koran Tempo, dan berita minggu di majalah Tempo. Setelah single brand, seluruh berita dalam tiga platform itu akan menyatu sehingga mempermudah layanan informasi kepada pembaca.
Tempo, kata Bagja, melihat jurnalisme konstruktif sebagai konsep yang tepat dalam single brand. “Sejak berdiri tahun 1971, kami mempraktikkan jurnalisme konstruktif,” katanya. “Pelatihan ini makin mempertajam dan meningkatkan kompetensi wartawan Tempo dalam menyajikan berita, analisis, dan investigasi.”
Pelatihan akan berlangsung hingga Mei karena pelatihan tiga hari ini berbentuk pelatihan untuk pelatih atau training for trainer. Pada jurnalis senior akan menularkan pengetahuan tentang jurnalisme konstruktif kepada wartawan lain sehingga seluruh jurnalis Tempo akan mendapatkan pengetahuan sama tentang konsep jurnalisme ini.
Pilihan Editor: LPDP Buka Beasiswa S2 di Northeastern University, Bisa Langsung Kerja dengan Gaji Kompetitif