TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), mengatakan pembatalan pasal 11 ayat 6 PKPU Nomor 10 dan pasal 18 ayat 2 PKPU No 11 Tahun 2023 oleh Mahkamah Agung, menunjukkan buruknya penyelenggara pemilihan umum menyusun aturan pencalonan anggota legislatif. Di mana Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) PKPU 11/2023 mengabaikan masa jeda waktu lima tahun bagi mantan terpidana korupsi yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif jika dalam vonis mereka memuat pidana tambahan pencabutan hak politik.
"Sebab, baik secara formil yang diketahui tidak partisipatif, aspek materil juga menuai persoalan karena bertentangan dengan UU Pemilu," kata ICW dalam keterangan tertulis, Sabtu, 30 September 2023.
Menurut ICW, pembatalan aturan tersebut membuktikan alasan KPU untuk membenarkan PKPU Pencalonan Anggota Legislatif ini salah dan keliru. "Bahkan bisa disebut mengada-ada," kata ICW.
Menurut organisasi ini, MA mengabulkan uji materi itu, semakin menguatkan kecurigaan publik bahwa aturan internal KPU merugikan masyarakat. Menguntungkan mantan terpidana korupsi. "Sebab, hak dasar masyarakat mendapatkan calon berintegritas dirampas oleh KPU," ujarnya.
Momentum putusan MA mengabulkan uji materi PKPU, menurut dua organisasi itu, memperlihatkan buruknya kualitas penyelenggara Pemilu dalam menjunjung tinggi nilai-nilai integritas.
ICW dan Perludem menjelaskan, pembatalan tersebut memperlihatkan citra buruk KPU. Sebelumnya Komisi ini diterpa kritik masif masyarakat perihal kontroversi verifikasi faktual partai politik, pelanggaran etik Ketua KPU RI, dan polemik keterwakilan perempuan, yang dibatalkan MA.
"Kami menuntut agar KPU segera merevisi PKPU tersebut dengan menghapus syarat pidana tambahan bagi mantan terpidana yang ingin mencalonkan diri sebagai anggota legislatif," tutur mereka.
Perubahan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD, dan PKPU tentang Pencalonan Anggota DPD diminta segera dibarengi dengan mencoret calon anggota legislatif yang masih belum memenuhi syarat masa jeda lima tahun bagi mantan terpidana dari daftar calon sementara.
"Tidak hanya itu, kami mendesak jajaran Komisioner KPU meminta maaf kepada masyarakat karena keliru dan ugal-ugalan menyusun aturan mengenai syarat pencalonan anggota legislatif," ujar ICW.
Dalam putusannya, majelis hakim sepakat bahwa Pasal 11 ayat (6) PKPU 10/2023 dan Pasal 18 ayat (2) dan PKPU 11/2023) yang muatannya menambah syarat perhitungan pidana tambahan pencabutan hak politik bagi proses pencalonan anggota legislatif mantan terpidana merupakan pelanggaran hukum. Alasannya, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) dan putusan MK.
MA juga memuat poin penting dalam putusan Nomor 28 P/HUM/2023, yang dijadikan pertimbangan membantah argumen KPU dalam merumuskan PKPU 10 dan PKPU 11. Majelis hakim, kata dia, berpendapat masyarakat sebagai pemilih mempunyai hak mendapatkan calon-calon berintegritas yang akan diusung partai politik sebagai kandidat anggota legislatif.
Dibenturkan dengan aturan internal KPU, tentu penambahan syarat berupa pidana tambahan pencabutan hak politik akan menambah rentetan panjang orang-orang bermasalah yang akan tertera di surat suara pada Pemilu tahun 2024 mendatang.
Selanjutnya, aturan KPU menunjukkan kurangnya komitmen dan semangat pemberantasan korupsi. Menurut dua lembaga tersebut, pertimbangan hakim ini dapat dipahami, alih-alih membatasi ruang gerak mantan terpidana, KPU justru membuka lebar kesempatan bagi eks pelaku korupsi menjadi calon anggota legislatif.
"Dari aspek sosiologis, majelis hakim berpandangan bahwa aturan internal KPU tersebut tidak mencerminkan sifat korupsi sebagai kejahatan luar biasa," ucapnya.
Sebelumnya, MA mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan oleh Indonesia Corruption Watch (ICW), Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dan dua eks komisioner KPK, Saut Situmorang dan Abraham Samad.
Pilihan Editor: KPU Disebut Tidak Jalankan Putusan MA soal Aturan Keterwakilan Perempuan