TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengindikasikan terjadinya dugaan pelanggaran HAM dalam serangkaian insiden bentrokan di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Berdasarkan temuan sementara, Komnas HAM mengingatkan negara agar tidak melanggar hak warga atas tempat tinggal yang layak.
"Terkait dengan penolakan masyarakat Pulau Rempang untuk direlokasi negara tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak baik tindakan maupun kebijakan yang diambil baik tingkat lokal maupun nasional. Kebijakan negara tidak boleh diskriminatif dan menimbulkan pembatasan tanpa dasar hukum yang sah, ekslusif dan tidak proposional negara, tidak boleh melakukan relokasi paksa atau forced evictions yang merupakan bentuk pelanggaran HAM," kata Koordinator Subkomisi Penegakan Komnas HAM Uli Parulian Sihombing dalam konferensi pers di Komnas HAM pada Jumat, 22 Agustus 2023.
Insiden bentrokan di Pulau Rempang berawal dari rencana pemerintah menjadikan kawasan ini perpaduan industri, perdagangan, dan wisata dengan nama Rempang Eco City. Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) ditunjuk untuk mengawal realisasi investasi proyek dengan target investasi Rp 381 triliun pada 2080.
Proyek ini akan merelokasi warga Pulau Rempang yang sudah mendiami 16 kampung adat sejak 1834. Namun, upaya relokasi ini tidak mulus karena tak semua warga bersedia angkat kaki dari kampung yang telah mereka didiami sejak ratusan tahun silam. Dampak penolakan adalah kericuhan yang berujung bentrokan antara warga dan aparat pada 7 dan 11 September 2023.
Temuan selongsong gas air mata
Komnas HAM menerjunkan tim untuk menginvestigasi dugaan pelanggaran HAM di kawasan proyek strategis nasional ini sepuluh hari pasca terjadinya bentrokan. Dalam investigasinya, Komnas HAM menemukan beberapa selongsong peluru gas air mata di atap dan di dekat pekarangan Sekolah Dasar Negeri 024 Galang.
SDN 024 Galang merupakan salah satu lokasi yang terkena dampak tembakan gas air mata saat bentrokan antara aparat dan masyarakat di kawasan Jembatan IV Barelang. Kegiatan belajar-mengajar ketika itu pun dihentikan karena gas air mata memasuki area sekolah.
Berdasarkan temuan tersebut, Komisioner Mediasi Komnas HAM, Prabianto Mukti Wibowo mengatakan pihaknya akan menanyakan ke kepolisian dan menyelisik apakah tindakan tersebut sesuai atau tidak dengan prosedur operasi standar dalam Peraturan Kepala Kepolisian RI Nomor 1 Tahun 2009. "Perlu dilakukan penyelidikan, apakah tindakan ada unsur pelanggaran atau tidak," ujar Prabianto dikutip dari Koran Tempo.
Komnas HAM juga memberikan catatan soal penyediaan layanan trauma healing di sekolah oleh kepolisian, beberapa waktu lalu. Komnas HAM menilai layanan tersebut seharusnya tidak cukup sekali saja diberikan karena trauma yang dialami para siswa berkepanjangan. "Perlu layanan lebih lanjut. Psikolog juga harus diturunkan." kata Prabianto.
Pengerahan personel aparat berlebihan
Komnas HAM juga menilai ada penggunaan kekuatan aparat yang dianggap berlebihan dalam penanganan konflik di Pulau Rempang, Kota Batam, Kepulauan Riau. Komisioner Komnas HAM Saurlin P Siagian mengatakan, pihaknya sepakat dengan KontraS yang telah melakukan audiensi dengan masyarakat Pulau Rempang dan menemukan hal yang sama soal penggunaan kekuatan aparat dalam konflik di sana.
Belum adanya proses yang mendahulukan sikap masyarakat untuk mengambil keputusan setuju atau tidak bersedia direlokasi, kata dia, juga menambah kuatnya dugaan unsur pelanggaran. Meski demikian, Saurlin belum bisa memastikan kesimpulan akhir Komnas HAM. "Kami perlu menelusuri relasi hak sipil dan politik dengan fakta yang terjadi. Serta seperti apa hak-hak ekonomi, sosial, budaya, dan sejarah di sana. Hal itu perlu kami buktikan lebih dulu," kata Siagian.
Selanjutnya: Temuan warga Pulau Rempang merasa terintimidasi