Pada pasal tersebut, menurut Bambang, partisipasi masyarakat dalam mengamankan pertandingan hanya pada ayat 3.b Pasal 21 ayat 1 dan 2 ini secara eksplisit menekankan penggunaan personel dari kepolisian.
"Saya melihat lebih menjauh dari semangat democratic policing, dimana pemolisian harusnya lebih mengedepankan partisipasi masyarakat. Dan pihak kepolisian hanya menjadi fasilitator keamanan, bukan malah menjadi operator keamanan," ujarnya.
Masih dilandasi kepentingan pragmatis
Bambang pun mengungkapkan bahwa Perpol ini dibuat karena Polisi tidak mau kehilangan pendapatan dari pengamanan sepakbola. Hal ini menutup kemungkinan adanya pembangunan industri pengamanan modern yang bisa dibuat masyarakat.
"Saya menduga mengapa itu dilakukan, karena semangatnya masih pragmatis tidak mau kehilangan lahan penghasilan dari jasa pengamanan industri, alih-alih membangun industri pengamanan yang modern," ujarnya.
Perpol ini juga menurut Bambang hanya menguntungkan golongan atasan saja. Di level bawah, honor pengamanan tiap personil yang berjumlah Rp 100 ribu tidak sebanding dengan resiko nyawa anggota kepolisian yang sudah dididik dengan biaya ratusan juta.
"Kepolisian tidak belajar dari Kasus Kanjuruhan. Di level bawah kebijakan pengamanan event itu juga menjadi beban. Personel dibawah hanya sekedar menjalankan perintah dengan hanya menerima honor Rp 100 ribu per event," kata Bambang.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah meneken Perpol Nomor 10 Tahun 2022 tentang Pengamanan Penyelenggaraan Kompetisi Olahraga. Perpol yang diterbitkan ini juga telah ditandatangani Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly tertanggal 4 November 2022.
"Sudah (berlaku Perpol ini) sejak tanggal 4 November. Setelah ini divisi hukum akan mensosialisasikan ke seluruh jajaran kepolisian," kata Kadiv Humas Polri Irjen Dedi Prasetyo pada Rabu 16 November 2022.
Baca: Datangi Bareskrim, Tim Gabungan Aremania Laporkan Dugaan Pidana Tragedi Kanjuruhan