TEMPO.CO, Jakarta - Tragedi Kanjuruhan meninggalkan luka mendalam untuk Gilang. Pria 22 tahun itu adalah salah satu korban selamat pascakerusuhan di dalam Stadion Kanjuruhan, Kabupaten Malang, Jawa Timur pada Sabtu, 1 Oktober 2022.
"Tiga teman saya meninggal," kata dia pelan saat ditemui Tempo kemarin.
Ia datang bersama ratusan Aremania, suporter Arema FC dari Jember untuk menonton tim kesayangannya. Mereka menumpang mobil dan sebagian bersepeda motor. Terjadi tragedi usai pertandingan, dengan skor 2-3 untuk kemenangan Persebaya.
Usai pertandingan, ribuan suporter Arema FC turun ke tengah lapangan. Mereka melompat pagar dan merangsek ke lapangan. “Suporter masuk lapangan, untuk menyalami pemain. Tapi polisi mengadang, terjadi keributan. Polisi menembakkan gas air mata,” katanya.
Gilang bersama teman-temannya tetap berada di tribun penonton. Namun, sebuah tembakan gas air mata mendarat di bangku penonton. Para penonton panik, mereka berdesakan berebut keluar stadion. “Berdesakan, banyak korban terjepit. Terinjak,” kata Gilang.
Beruntung, Gilang berhasil melompat pagar dan naik kembali ke tribun. Ia terpisah dengan tiga temannya. Petaka, ketiga temannya ditemukan tak bernyawa. Temannya laki-laki ditemukan meninggal di ruang ganti pemain di Stadion Kanjuruhan, Kepanjen. Sedangkan dua perempuan meninggal saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Wava Husada, Kepanjen.
Kerusuhan merembet ke luar stadion Kanjuruhan, suporter mengguling dan membakar kendaraan polisi. Saat terjadi kerusuhan, Gilang sempat menyelamatkan seorang perempuan yang terinjak-injak penonton. Perempuan tersebut berhasil ditolong dan diangkut ke rumah sakit terdekat.
“Reaksi polisi arogan, tidak mengayomi. Mengapa mengarahkan gas air mata ke penonton di tribun yang tidak melakukan kerusuhan? Cukup dipentung saja,” katanya.
Mata Perih, Air Mata Meleleh
Sedangkan Fian, 17 tahun, Aremania asal Sumbermanjingkulon, Kabupaten Malang berhasil keluar stadion dengan selamat. Fian menonton bersama teman perempuannya. Dia duduk di bawah papan skor. Usai pertandingan ribuan suporter turun ke lapangan. Polisi mengadang dan melepaskan tembakan gas air mata.
Tak hanya melepaskan tembakan gas air mata di tengah lapangan, namun tembakan gas air mata juga diarahkan ke tribun penonton. Termasuk mengarah ke bangku tempat Fian dan ribuan penonton duduk. “Ditembak gas air mata. Mata perih, dan sesak nafas. Air mata meleleh,” katanya.
Para suporter panik, semburat. Mereka berhamburan berebut mencari jalan keluar. Berdesak-desakan, bahkan sebagian terinjak-injak sesama penonton. Fian pun panik, ia menggandeng teman perempuannya keluar melalui pintu darurat di sebelah kiri. Fian menyaksikan seorang anak kecil yang terpisah dari orang tuanya, diselamatkan anggota TNI. Dibopong keluar stadion.
“Kami di tribun diam, tidak ngapa-ngapain. Mereka yang rusuh di bawah. Kok di tribun juga ditembak gas air mata?,” kata Fian. Bahkan, pagar pembatas antara lapangan dan tribun jebol. Kerusuhan berlanjut sampai di luar Stadion Kanjuruhan. Kekecewaan suporter diluapkan dengan menendang dan membakar mobil polisi yang parkir di luar stadion.
“Setelah ini, orang tua saya melarang saya menonton sepak bola di stadion,” kata dia.
Baca juga: Tragedi Kanjuruhan, KPAI Desak Pemerintah Tanggung Jawab Terhadap Anak yang Jadi Yatim Piatu
EKO WIDIANTO/ ABDI PURMONO