TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintah bereaksi atas pencopotan hakim Mahkamah Konstitusi atau MK Aswanto oleh DPR. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md menyebut pemerintah akan membuat mekanisme pergantian hakim MK, minimal yang menjadi wakil dari pemerintah, agar tidak terjadi kejutan-kejutan seperti pada kasus Aswanto.
"Karena ini baru dan agak mendadak sehingga tidak tahu juga dan kita tersadar bahwa kita harus membuat mekanisme itu (pergantian hakim MK wakil pemerintah)," kata mantan Ketua MK ini saat ditemui usai mengikuti upacara Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu, 1 Oktober 2022.
Sebelumnya Komisi Hukum DPR RI mengganti Hakim MK Aswanto dengan Sekretaris Jenderal MK Guntur Hamzah. Penggantian itu pun telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR pada Kamis lalu, 29 September 2022.
Alasan Komisi III DPR
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR RI Bambang Wuryanto memberikan alasan pencopotan Aswanto karena kinerjanya mengecewakan. Dia menilai Aswanto sebagai Hakim MK pilihan DPR kerap menganulir undang-undang yang disahkan oleh DPR. Anggota Fraksi PDIP itu pun menyebut Aswanto tak memiliki komitmen dengan DPR.
Baca Juga:
Pencopotan Aswanto ini kemudian menuai kritikan, salah satunya dari mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie yang meminta Jokowi tidak menindaklanjuti hasil rapat paripurna tersebut. Jimly menilai keputusan ini sebagai pemecatan hakim oleh DPR tanpa dasar dan prosedur yang benar. "DPR tidak berwenang memecat hakim MK," kata dia.
Mahfud menyebut pemerintah akan mempelajarinya terlebih dahulu. Lantaran dalam hukum tata negara, kata dia, pemerintah bukan melakukan pengangkatan dalam keputusan jabatan publik yang ditentukan dan ditetapkan DPR.
"Tetapi meresmikan istilah hukum, artinya presiden tak boleh mempersoalkan alasannya gitu. Tapi kita lihatlah perkembangannya, presiden ndak bisa," kata Mahfud.
Mahfud menjelaskan bahwa hakim MK diusulkan oleh tiga institusi, yaitu tiga dari Mahkamah Agung atau MA, tiga dari DPR, dan tiga dari Presiden. "MK bikin surat karena ada perpanjangan ini akan diteruskan, tapi DPR menanggapi dengan menarik wakilnya (Aswanto)," ujar Mahfud yang mengaku tidak tahu mekanisme di DPR dan tidak akan ikut campur.
Ditanya lagi soal adanya kejanggalan dalam pencopotan Aswanto ini dengan posisinya sebagai mantan hakim MK, Mahfud enggan menjawabnya. "Saya enggak akan bicara sebagai mantan hakim MK," ujarnya.
Kritik Pakar Hukum
Selain Jimly, kritik juga datang dari ahli hukum tata negara, Bivitri Susanti yang mengatakan pergantian Aswanto dengan Guntur Hamzah oleh DPR RI seharusnya tidak boleh. Apalagi pemberhentian itu karena masalah putusan.
Bivitri menilai putusan yang diambil DPR untuk memberhentikan hakim di tengah masa jabatannya tidak ada dalam Undang-Undang MK. Dia menilai hal itu dapat membahayakan independensi MK.
"Independensi peradilan itu prinsip penting secara global, hakim tidak boleh 'dievaluasi' di tengah masa jabatannya secara politik oleh lembaga politik berdasarkan putusannya", kata Bivitri Susanti saat dihubungi oleh Tempo, Jumat, 30 September 2022.
Bivitri menegaskan evaluasi terhadap Hakim Mahkamah Konstitusi yang dilakukan DPR bukan berarti para wakil rakyat bisa seenaknya melakukan pemecatan di tengah masa jabatan. Ia juga menjelaskan, surat yang diterima DPR dari MK sebenarnya hanya untuk mengkonfirmasi soal Putusan MK dan bukan meminta pergantian hakim.
"Tapi surat itu dimaknainya berbeda. Dan cara ini (mengevaluasi di tengah masa jabatan) sama benar dengan usulan perubahan UU MK yang mau dijadikan usul inisiatif DPR itu", kata dia.
Bivitri menilai alasan yang diungkapkan Bambang itu keliru dan sangat politis. Dia menyatakan alasan tersebut seakan-akan DPR ingin menghukum hakim yang membatalkan produk undang-undang buatan mereka. "Seorang hakim tidak boleh ditarik karena putusannya menyebalkan bagi politisi", kata dia.
Ia juga menjelaskan bahwasannya jabatan hakim bukanlah jabatan politik yang bisa dibicarakan dengan bingkai jabatan politik. Bivitri pun mengatakan DPR kecolongan secara prosedur, maka harusnya Ketua DPR tidak mengirim surat ke Presiden Jokowi untuk mengesahkan mencopot Aswanto dan mengesahkan Guntur Hamzah.
"Dan kalau pimpinan DPR tidak mau bertindak benar dan sesuai UU seperti ini, Presiden tidak seharusnya menandatangani SK penggantian hakim MK ini nanti", kata dia.
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.