TEMPO.CO, Jakarta - Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menyetujui rencana menghidupkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) tanpa melalui amandemen UUD 1945 seperti yang diusulkan Badan Pengkajian MPR. Keputusan itu diambil dalam rapat pimpinan MPR bersama pimpinan fraksi di DPR serta Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Bambang menyatakan mereka akan membentuk Panitia Ad Hoc untuk menggodok payung hukum pembentukan PPHN. Panitia Ad Hoc itu terdiri dari semua elemen.
"Pembentukan Panitia Ad Hoc yang terdiri dari 10 pimpinan MPR dan 45 orang dari fraksi-fraksi dan kelompok DPD nanti akan diputuskan dalam sidang paripurna awal September mendatang, karena tidak memungkinkan disisipkan di sidang tahunan pada 16 Agustus," ujar Ketua MPR RI Bambang Soesatyo lewat keterangan video, Senin, 25 Juli 2022.
Bambang menyatakan, opsi yang diusulkan Badan Pengkajian adalah menghadirkan PPHN sebagai Konvensi Ketatanegaraan. Hal ini serupa dengan penyelenggaraan Pidato Kenegaraan Presiden di hadapan Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPD dan DPR setiap 16 Agustus. Agenda tahunan itu tidak diatur dalam UUD 1945 dan tidak pula dimandatkan oleh UU, tetapi mengingat urgensinya dapat diterima maka akhirnya menjadi Konvensi Ketatanegaraan.
Payung hukum penyelengaraan Pidato Kenegaran Presiden 16 Agustus adalah Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI. Di dalamnya diatur beberapa jenis Keputusan MPR, di antaranya yakni Ketetapan MPR yang berisi pengaturan dan memiliki kekuatan hukum mengikat ke dalam dan ke luar MPR.
"Badan Pengkajian menemukan terobosan ini untuk menghindari adanya amendemen, karena situasi politik hari ini tidak memungkinkan untuk itu. Terobosan itu berpijak pada Pasal 100 ayat (2) di Tatib MPR. Inilah tadi laporan dari Badan Pengkajian yang diterima secara bulat oleh rapat gabungan, dan selanjutnya adalah pembentukan panitia Ad Hoc," ujar Bambang.
Pria yang akrab disapa Bamsoet itu menyebut, pada dasarnya seluruh peserta rapat gabungan menyatakan sepakat dengan urgensi PPHN. Selanjutnya, ujar dia, panitia ad hoc sebagai alat kelengkapan MPR bertugas menggodok bentuk hukum yang paling tepat untuk PPHN.
"Apakah bentuknya adalah undang-undang atau melalui konvensi ketatanegaraan yang bisa lebih mengikat dan lebih tinggi kedudukannya, karena konvensi itu akan melibatkan seluruh lembaga tinggi negara termasuk lembaga kepresidenan, plus unsur daripada parpol dan kelompok DPD," kata Bamsoet.
Sebelumnya MPR sempat mengusulkan amandemen UUD 1945 demi memasukkan PPHN. Akan tetapi usulan itu dikecam banyak pihak karena ada kekhawatiran amandemen tersebut juga akan mengubah pasal lain seperti masa jabatan presiden. Hal itu tak lepas dari suara sejumlah elit politik yang menyatakan mendukung wacana agar Presiden Jokowi menjabat selama tiga periode. Padahal, menurut pasal 7 UUD 1945, masa jabatan presiden maksimal adalah dua periode.