TEMPO.CO, Jakarta - Mahkamah Konstitusi menolak gugatan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT. Keputusan itu dibacakan pagi ini setelah melalui pertimbangan 9 Hakim Konstitusi.
Dalam amar putusannya, Mahkamah menyebut alasan penolakan karena pengajuan gugatan oleh Sindi Enjelita Sitorus dan Hesti Br Ginting tidak jelas.
"Karena permohonan para Pemohon tidak jelas (kabur) sehingga tidak memenuhi syarat formil permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 ayat (1) UU MK serta Pasal 10 ayat (2) PMK 2/2021, oleh karena itu Mahkamah tidak mempertimbangkan kedudukan hukum dan pokok permohonan para Pemohon lebih lanjut," bunyi amar putusan didapatkan Tempo, Selasa, 31 Mei 2022.
Dalam keterangannya, Mahkamah Konstitusi melihat adanya kerancuan pada bagian petitum yang bersifat kumulatif dan saling bertentangan. Seperti pada bagian petitum angka 2, para Pemohon memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945.
Namun pada petitum angka 3 memohon agar Mahkamah menyatakan Pasal 7 UU 23/2004 sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional). Mahkamah kemudian mengutip isi permohonan yang dianggap membingungkan tersebut.
'Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat padaseseorang' diubah menjadi:
'Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, dengan memperhatikan bentuk-bentuk kekerasan psikis: umpatan, penghinaan, pelabelan negatif, atau sikap dan gaya tubuh yang merendahkan, membatasi, atau mengontrol korban agar memenuhi tuntutan pelaku”.
Menurut Mahkamah, petitum itu menyulitkan bagi hakim untuk memahami hal yang sesungguhnya diinginkan oleh para pemohon. Sebab, pada satu sisi para Pemohon meminta agar Pasal 7 UU 23/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, namun di sisi lain meminta Mahkamah untuk memberikan pemaknaan terhadap Pasal 7 UU 23/2004 secara bersyarat (conditionally constitutional).
"Oleh karena itu, berdasarkan fakta hukum tersebut, Mahkamah tidak mungkin mengabulkan dua petitum yang saling bertentangan, kecuali para Pemohon dalam petitum permohonannya memohon secara alternatif," bunyi putusan tersebut.
Sebelumnya, para pemohon mengajukan gugatan kekerasan psikis di UU KDRT karena tidak rincinya penjelasan dalam UU tersebut mengakibatkan posisi perempuan rentan untuk digugat dan kriminalisasi terhadap perempuan untuk menjadi pelaku dalam konteks kekerasan psikis.
"Seperti dalam kasus contoh diatas, Valencya melakukannya bukan sebagai bentuk kesengajaan, melainkan hanya spontanitas dan tidak bermaksud untuk menyerang psikis korban," demikian argumen para pemohon.
Sedangkan dalam kasus kekerasan psikis, kata para pemohon, sesungguhnya kata-kata yang merendahkan martabat dan menghina berdampak serius apabila dilakukan secara terus menerus. Pemohon mempermasalahkan bagian dari UU KDRT itu
M JULNIS FIRMANSYAH
Baca Juga: Besok, MK Putuskan Gugatan Pasal Kekerasan Psikis di UU KDRT
Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini