TEMPO.CO, Jakarta - Ombudsman menyatakan sistem tata kelola tenaga honorer di instansi pemerintahan memiliki banyak masalah. Hal tersebut diidentifikasi setelah dilakukan kajian sistemik dalam sejumlah instansi.
Anggota Ombudsman RI, Robert Na Endi Jaweng, mengatakan ada berbagai persoalan yang dihadapi dalam pengelolaan tenaga honorer di instansi pemerintah. Salah satu masalah yang disorot ialah soal proporsi kerja yang tidak sebanding dengan pendapatan.
“Di sini isunya soal kesejahteraan, jaminan sosial, dan juga perlakuan atas tenaga honorer. Ibaratnya, ada yang mengatakan honorer itu gajinya jauh lebih kecil, tapi pada konteks tertentu, pekerjaannya lebih banyak dari ASN,” kata Robert dalam diskusi daring pada Selasa, 28 Desember 2021.
Di sisi lain, Ombudsman mencatat masih terjadi penganaktirian tenaga honorer. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan pengembangan keterampilan sumber daya manusia. Ombudsman menilai selama ini porsi dari pengembangan kapasitas sumber daya manusia di instansi pemerintah sebagian besar dilimpahkan ke Aparatur Sipil Negara (ASN).
Padahal, instansi pemerintahan selalu memiliki kebutuhan terhadap tenaga honorer. Bahkan tak jarang ditemukan tenaga honorer yang sudah berbakti di suatu institusi selama bertahun-tahun. “Jadi seolah-olah tenaganya digunakan, tapi tidak dikembangkan kapasitasnya," kata Robert.
Ia menyatakan memang ada kegiatan tentang pengembangan kapasitas bagi tenaga honorer. Namun hal itu tidak terencana, sistematis dan lebih ke arah situasional.
Dari hasil kajian, Ombudsman menawarkan beberapa opsi untuk menyelesaikan persoalan tenaga honorer di instansi pemerintah. Salah satunya ialah penghapusan tenaga honorer.
Kepala Keasistenan Analisis Pencegahan Maladministrasi Keasistenan Utama VI Ombudsman, Ani Samudra Wulan, menuturkan upaya penghapusan tenaga honorer bisa dilakukan dengan cara menyusun peraturan presiden tentang pemberhentian tenaga honorer di seluruh kementerian, lembaga dan pemerintah daerah.
Selanjutnya, Ani menyampaikan, opsi kedua perbaikan pengelolaan tenaga honorer meliputi penyusunan Peraturan Presiden untuk melaksanakan Pasal 96 ayat (1) PP No 49 tahun 2018. Dalam hal ini melarang Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) atau pejabat lain mengangkat pegawai non PNS dan atau non PPPK untuk mengisi jabatan ASN.
Berikutnya, Ombudsman menilai bisa juga diberlakukan pengendalian dan penegakan sanksi fiskal dan administratif bagi pejabat pembina kepegawaian atau pejabat lain yang mengangkat tenaga honorer.
Opsi lainnya ialah mengalihkan tenaga honorer menjadi ASN, sebagaimana tertuang dalam UU No. 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Lalu ada juga opsi memperlakukan tenaga honorer layaknya karyawan, sebagaimana UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Terakhir, Ombudsman menawarkan rekomendasi do nothing kepada sistem tenaga honorer atau membiarkan dan melanjutkan saja segala proses yang sudah dijalankan selama ini. “Jadi biarkan saja berjalan sebagaimana adanya tanpa adanya perubahan yang mendasar," ujar Robert.
Baca: GKI Yasmin Adukan Wali Kota Bogor Bima Arya ke Ombudsman RI Karena Tanah Hibah
AQSHAL RAIHAN BUDIPUTRA