TEMPO.CO, Jakarta - Perguruan tinggi swasta memiliki harus bertahan di masa pandemi Covid-19. Kampus swasta yang mengandalkan pemasukan utama dari uang kuliah mahasiswa, harus memutar otak agar tetap memiliki daya saing dan daya tarik di masa pandemi ini.
"Kami harus kreatif, terutama dalam hal mitigasi finansial dan mitigasi akademik," ujar Rektor Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Muchlas, saat menjadi pembicara dalam program Fellowship Jurnalisme Pendidikan Batch 3 yang digelar Gerakan Wartawan Peduli Pendidikan (GWPP) bekerja sama dengan Paragon Technology and Innovation, Selasa, 14 Desember 2021.
Untuk mitigasi finansial misalnya, Muchlas mengatakan kampus harus memilih antara pengembangan program kampus atau kesejahteraan dosen. "Saya memilih kesejahteraan dosen, walaupun kami harus men-downgrade beberapa program universitas," tuturnya.
Pandemi ini, kata Muchlas, banyak mengganggu usaha kampus dalam melakukan inovasi program guna menarik minat masyarakat. Strategi UAD untuk mempromosikan diri saat ini, hanyalah lewat berita-berita baik yang disebarkan. "Kami memperbaiki kinerja internal, lalu kami penetrasi di sana," ujar dia.
Per Januari 2021 misalnya, lembaga pemeringkatan Webometrics Ranking of World Universities menempatkan UAD Yogyakarta masuk dalam peringkat 27 yang berhasil masuk jajaran kampus terbaik versi Webometrics per Januari 2021. UAD juga menempati peringkat ke-28 versi Scimago Institutions Rankings se-Indonesia.
Dari hampir 30 ribu mahasiswa yang terdaftar, ujar Muchlas, saat ini ada 26.800 mahasiswa aktif. UAD juga masih menarik mahasiswa asing. Lebih dari 1.000 mahasiswa asing berkuliah di sana. "Ada yang dari Hongaria, Polandia, Mesir, Malaysia, Cina, dll. Tapi paling banyak dari Cina, sekitar 80 persen," ujar dia.
Rektor Universitas Islam Malang (Unisma), Maskuri juga tak menampik dampak pandemi Covid-19 bagi kampusnya. "Perguruan tinggi di era pandemi seperti sekarang ini, paling tidak kami berusaha untuk tetap bertahan, syukur-syukur bisa berkembang," ujarnya di acara yang sama.
Menurut Maskuri, kampusnya sudah dibekali tujuh modal untuk bisa bertahan dan berkembang dalam berbagai kondisi.
Pertama, modal intelektual. Modal kedua adalah kemampuan manajerial. Unisma mengembangkan konsep wirausaha (entrepreneur society) melalui pendidikan dan/atau pelatihan manajemen, leadership, dan entrepreneurship. Konsep ini diyakini akan tetap menarik minat mahasiswa, terutama saat pandemi ini.
Modal ketiga adalah modal sosial. Unisma menyediakan berbagai wadah untuk mahasiswa bisa berkolaborasi dengan banyak pihak dan juga memberi keleluasaan pada mahasiswa membentuk laboratorium-laboratorium baru, yang kemudian pendanaannya dibantu oleh kampus.
"Laboratorium-laboratorium yang yang didirikan oleh mahasiswa itu kami biayai bisa sampai Rp10-15 juta per proposal. Unisma itu mahasiswanya kurang lebih sekitar 16.000," ujar dia.
Keempat, modal jejaring (networking). Kelima, kemampuan teknologi informasi. Keenam adalah modal spiritual. "Terakhir, modal finansial. Saya menempatkan finansial di urutan terakhir, karena jika enam modal di atas dikuasai, maka modal finansial akan datang dengan sendirinya," ujar dia.
Di era pandemi ini, ujar Maskuri, Unisma sama sekali tidak memotong gaji dosen dan karyawan, justru bisa meningkatkan kesejahteraan mereka. Unisma bahkan bisa membebaskan lahan sampai 84 hektare dengan biaya miliaran. "Ini berkat tujuh modal di atas tadi, yang melahirkan kepercayaan masyarakat sebagai kunci utama," ujar dia soal cara bertahan Perguruan Tinggi Swasta.