TEMPO.CO, Jakarta - Dua kandidat akan maju sebagai calon ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) dalam Muktamar ke-34 pada Desember mendatang, yakni Said Aqil Siradj dan Yahya Cholil Staquf. Kedua kubu mengklaim mendapat dukungan dan permintaan dari para pengurus cabang di pelbagai daerah.
Dosen komunikasi politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengatakan peta politik di Muktamar memang telah terbagi ke dalam dua kubu. Kendati begitu, ia menyebut pemenangnya akan ditentukan siapa yang paling banyak didukung oleh pemilik suara.
"Klaim dukungan itu biasa. Karena sistem pemilihan one man one vote, ending-nya yang menang siapa yang didukung suara mayoritas," kata Adi kepada Tempo, Ahad, 17 Oktober 2021.
Di antara kedua calon itu, kata Adi, ada dua perbedaan narasi dan sikap politik yang cukup kental terlihat. Said Aqil dinilainya memiliki narasi dan positioning politik yang cenderung dekat ke pemerintah.
Sebaliknya, Adi menilai Yahya Staquf bisa dianggap sebagai representasi politik Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Yahya pernah menjadi sebagai juru bicara saat Gus Dur menjabat presiden.
Sikap kedua kandidat menyangkut isu Palestina dan Israel juga berbeda. Pada 2018 lalu, Yahya Staquf sempat bertandang ke Israel. Lawatan Yahya itu menuai kritik sejumlah pihak lantaran dinilai tak sensitif terhadap perjuangan Palestina.
Kala itu, Yahya mengatakan kehadirannya dalam forum global American Jewish Committee (AJC) tersebut untuk menyatakan dukungan terhadap perjuangan Palestina. Kepada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Yahya mengaku menyampaikan bahwa normalisasi hubungan Israel dan Indonesia tak terlepas dari isu Palestina.
Adapun Said Aqil pada Oktober lalu menyatakan tak akan mengakui Israel selama negara tersebut belum mengakui Palestina sebagai negeri yang merdeka. Said mengaku pernah ditawari berkunjung ke Israel, tetapi menolak.
Perbedaan berikutnya, Adi Prayitno melanjutkan, ialah sikap Said Aqil dan Yahya Staquf menyangkut posisi NU terhadap kekuasaan. Menurut Adi, Said cenderung berpandangan bahwa NU boleh dekat dengan kekuasaan, sedangkan Yahya sebaliknya.
Dalam wawancara dengan Tempo pada Senin, 11 Oktober lalu, Yahya mengaku tak ingin ada calon presiden dari NU pada Pemilu 2024 nanti. Kakak dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas ini mengatakan NU harus mengkaji ulang posisinya agar tak menjadi pihak dalam kompetisi politik.
Adi Prayitno mengatakan ada kemungkinan terjadi kesepakatan yang akomodatif dalam Muktamar PBNU mendatang. Yakni, Yahya Staquf menjadi ketua umum, sedangkan Said Aqil menjadi Rais Am, posisi yang sempat dijabat oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
"Itu bisa dianggap akomodasi yang paling nyaman. Ada regenerasi ketua umum, sedangkan Kiai Said menjadi Rais Am, posisi yang juga penting," ujarnya.
Adi menilai pekerjaan rumah PBNU ke depan ialah kembali ke khitahnya atau tujuan dasarnya sebagai gerakan masyarakat sipil keagamaan. Kendati sudah terbukti sebagai kelompok Islam moderat (wasatiah), kata dia, belakangan ini PBNU kurang terlihat berperan dalam mengadvokasi kebijakan yang tak memihak rakyat.
"Kecenderungannya belakangan ini terlampau dekat dan kelihatan sangat nyaman dengan kekuasaan. Narasi politik keagamaan Islam wasatiah sudah kuat, tetapi ketika bicara isu ekonomi, politik, dan sosial, saya kira juga harus punya sikap yang jelas," ujarnya.
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Khoirul Umam, berpendapat senada. Khoirul mengatakan kepemimpinan Said Aqil bisa disebut positif dalam menetralisir kekuatan Islam radikal dan konservatif.
Namun, ia menggarisbawahi sikap Said Aqil yang dinilainya membuka ruang relasi intensif antara PBNU dan kerja-kerja politik praktis. "Akibatnya sikap NU sebagai Islamic-based civil society menjadi kurang kuat dan lebih rentan dipengaruhi oleh dinamika kepentingan ekonomi-politik dari lingkaran kekuasaan," kata Khoirul pada Ahad, 10 Oktober lalu.
Baca juga: Jadi Calon Ketua Umum PBNU, Yahya Staquf Tak Ingin Ada Capres dari NU