TEMPO.CO, Jakarta - Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Cholil Staquf mengatakan tidak ingin di pemilihan presiden atau Pilpres 2024 ada kandidat dari PBNU. Pernyataan itu ia sampaikan karena berkaca dari Pilpres 2019 di mana Rais Aam PBNU saat itu, Ma’ruf Amin, menjadi calon wakil presiden.
“Saya melihat keberhasilan mendudukan wapres di Pemilu lalu bisa mendorong para aktivis NU untuk mengulangi lagi,” kata Yahya kepada Tempo, Senin, 11 Oktober 2021.
Yahya Staquf mengaku tidak ingin pengalaman tersebut menjadi suatu pola yang terus dilakukan. Sebab, kata dia, hal tersebut dapat merugikan bangsa karena kehilangan satu komponen yang punya kapasitas menjadi penyangga sistem, untuk mencegah terjadinya pembelahan berkepanjangan.
Menurut mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden ini, NU harus bisa menjadi milik semua orang, menyediakan ruang, dan melayani semua pihak. Karena itu, dalam gagasannya menjadi calon ketua umum PBNU, Yahya menawarkan untuk melakukan repositioning politik. “Supaya jangan sampai menjadi pihak dalam kompetisi politik,” ucapnya.
Ke depannya, Yahya menuturkan kompetisi politik akan cenderung lebih intens dan rawan. Sehingga, kehadiran NU diperlukan menjadi komponen sosial yang kuat sebagai penyangga sistem. “Supaya kalau ada kontraksi bisa jadi semacam penjaga harmoni dalam masyarakat. Karena itu tidak boleh jadi pihak. Kalau NU jadi pihak, NU tidak bisa menjadi pendamai,” kata dia.