TEMPO.CO, Jakarta - Bagi sejumlah orang, peristiwa pemberontakan Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia atau dulu sering disingkat G30S/PKI merupakan luka lama yang belum kering, dan terus dikoyak-koyak setiap tahunnya.
Tragedi pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) membuntuti kejadian tersebut, berdasarkan laporan Komnas HAM, sebanyak 500 ribu hingga 3 juta orang tewas dalam peristiwa dan pascapristiwa pemberontakan itu.
Pelanggaran HAM ini tak luput dari upaya penumpasan PKI yang dipimpin oleh Soeharto. Segala sesuatu yang berbau komunis harus dibumihanguskan, tak peduli apakah mereka benar-benar PKI atau di-PKI-kan. Akibatnya, banyak nyawa yang tak berdosa turut menjadi korban karena dalam peristiwa kelam itu.
Hingga kini, sejumlah keluarga korban masih melakukan aksi menuntut keadilan setiap Kamis di depan Istana Negara, bersama keluarga korban Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok, dan korban pelanggaran HAM lainnya.
Pemberontakan PKI dipimpin oleh Letnan Kolonel (Letkol) Untung yang merupakan Komandan Batalion I Resimen Cakrabirawa, selaku pimpinan formal seluruh gerakan.
Dalam peristiwa pemberontakan yang terjadi pada 1 Oktober 1965 dini hari tersebut, mereka dengan kejam menculik dan membunuh 6 perwira tinggi dan seorang perwira pertama, yakni Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani, Mayjen TNI R. Suprapto, Mayjen TNI M.T. Haryono, Mayjen TNI Siswondo Parman, Brigjen TNI DI Panjaitan, Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo, dan Lettu Pierre Tendean yang merupakan Ajudan Jenderal A.H. Nasution. Dalam peristiwa tersebut, A.H. Nasution berhasil kabur meski sempat mendapatkan tembakan di kakinya.
Letkol Untung dan beberapa petinggi PKI menggunakan dua batalyon yakni 454 dan 530.
Padahal kedua batalion ini merupakan pasukan elit Kostrad yang berada di bawah kepemimpinan Soeharto, sebagaimana diungkapkan oleh Antonio C.A Dake, dalam Soekarno File: Kronologi Suatu Keruntuhan yang diterjemahkan Loek Pattiradjawane. Menurut Abdul Ghofur, hal ini mengindikasikan adanya keterkaitan baik secara langsung maupun tidak antara Soeharto dengan gerakan 30 September tersebut.
Setali tiga uang dengan Antonio C.A Dake, Soebandrio dalam bukunya “Peristiwa G 30” juga membeberkan adanya keterkaitan petinggi PKI dengan Soeharto ditinjau dari latarbelakang mereka. Untung dan Latief merupakan bawahan Soeharto saat berada di divisi Diponegoro Semarang, sementara Syam Kamaruzzaman merupakan anak buah Soeharto dalam perang Patuk Jogja.
Yoseph Tugio Taher, dalam artikelnya yang dimuat di laman kabarindonesia.com, mengungkapkan, meskipun ada pihak yang membela Soeharto dan mungkin mengatakan bahwa Soeharto bukanlah perencana G30S, namun faktanya, menurut Yoseph, Soeharto orang yang memberi bantuan militer dengan pemanggilan Batalyon 530 dari Jatim dan Batalyon 454 dari Jateng. “Dalam waktu secepatnya akan saya datangkan pasukan dari Jawa Timur dan Jawa Tengah,” kata Soeharto kepada Letkol. Untung.
Seorang akademisi asal Kanada yang juga tertarik untuk menggali rahasia peristiwa G30S/PKI, Doktor Peter Dale Scott juga menemukan banyak keanehan dalam peristiwa ini, di mana dua dari tiga kekuatan satu brigade pasukan para komando, ditambah satu kompi dan satu peleton pasukan lainnya, yang merupakan kekuatan keseluruhan G30S, diinspeksi oleh Soeharto sehari sebelum kejadian pemberontakan.
Banyak sejarawan kemudian menyangsikan kebenaran PKI di balik G30S. Mereka menuduh TNI AD dengan tokohnya, Soeharto adalah dalang G30S. Salahudin Wahid, dalam bukunya “Bagaimana Melihat 40 Tahun Peristiwa G30S Berlalu” dalam Bagus Darmawan (ed), Warisan (daripada) Soeharto mengungkapkan, tuduhan tersebut berdasarkan teori dan fakta terkait laporan Kolonel Latief kepada Soeharto pada 29, September 1965 malam tentang rencana penjemputan paksa para jenderal.
Bahkan dalam biografi Soeharto yang ditulis oleh R.E Elson, Soeharto mengatakan “Pergerakan itu bukanlah pergerakan yang muncul tiba-tiba pada 30 September, tapi merupakan akumulasi dari rangkaian kejadian yang telah dipersiapkan sejak lama. Suasana penuh hasutan dan fitnah, yang membangkitkan perasaan saling curiga antara satu kelompok dengan kelompok yang lain, serta iklim ekonomi yang buruk, yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu, dengan mudah digunakan oleh mereka untuk kemudian melakukan gerakan kontrarevolusi…. Dalam setiap sandiwara selalu ada pemain utama, pembantu dan dalangnya. Hal yang sama juga dimiliki oleh gerakan kontrarevolusi, yang menamakan dirinya gerakan 30 September. Selalu ada aktor utama, ada juga peran pembantu dan juga dalangnya, yaitu kelompok dalam yang terlibat. Aktor utama , yang mengatur kelompok lainnya, didalangi oleh kelompok Untung dan beberapa anggota ABRI. Sedangkan peran pembantu dijalankan oleh para Pemuda Rakyat, Gerwani. Dalangnya, menurut fakta dan dokumen-dokumen serta hasil interogasi yang kami dapat menunjuk adanya peran PKI sebagai otak gerakan kontrarevolusi.”
HENDRIK KHOIRUL MUHID
Baca juga: Elite TNI AD, Mengapa Soeharto Tak Masuk Daftar Jenderal yang Diculik G30S?