TEMPO.CO, Jakarta - Mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo siap dihukum berat bila terbukti melakukan korupsi. Jangankan dihukum mati, kata dia, lebih dari itu dia mengatakan siap.
"Jangankan dihukum mati, lebih dari itupun saya siap," kata dia seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK, Jakarta, Senin, 22 Februari 2021.
Pernyataan itu muncul ketika Edhy ditanya soal kemungkinan bawahannya menemui para eksportir benih lobster. Edhy mengatakan bila tahu, dia akan melarang mereka.
"Setiap kesempatqn saya ingatkan mereka untuk hati-hati dan waspada di setiap kegiata, jangan mau disogok," kata dia.
Edhy secara tidak langsung membantah melakukan korupsi. Dia mengatakan kalau mau korupsi, tak perlu harus menerbitkan aturan baru, yaitu izin mengekspor benur. Mantan politikus Gerindra ini mengatakan ada banyak korupsi di Kementerian Kelautan dan Perikanan. "Kalau mau korupsi, kenapa di tempat hal yang baru?" kata dia.
Edhy mencontohkan salah satu peluang korupsi adalah perizinan kapal. Dia mengatakan sebelumnya butuh 14 hari untuk izin itu keluar. Namun, dia mengklaim berhasil memangkas waktu keluarnya izin hanya satu jam. "Tanya sama pelaku usahanya, jangan tanya ke saya," ujar dia. Dia mengklaim semua yang dilakukannya untuk kepentingan masyarakat.
Baca juga: KPK Cecar Edhy Prabowo Soal Duit di Rumah Dinas
Meski demikian, dia mengatakan tidak akan lari bila dianggap salah. Dia mengatakan akan mengikuti proses hukum yang ada. "Saya tidak akan lari, dan saya tidak bicara bahwa yang saya lakukan pasti benar," kata dia.
PK menetapkan Edhy dan enam orang tersangka lainnya dalam perkara ini. Mereka adalah Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Wakil Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas (Due Diligence) Safri, Staf Khusus Menteri Kelautan dan Perikanan sekaligus Ketua Pelaksana Tim Uji Tuntas Andreau Pribadi Misata, Sekretaris Pribadi Menteri Kelautan dan Perikanan Amiril Mukminin.
Selanjutnya, pengurus PT ACK Siswadi, staf istri Menteri Kelautan dan Perikanan Ainul Faqih, dan Direktur PT Dua Putra Perkasa Suharjito.
PT ACK merupakan satu-satunya perusahaan yang ditunjuk oleh KKP untuk mengangkut benih lobster ke luar negeri. KPK menduga ACK sebenarnya milik Edhy Prabowo. Sebagian keuntungan dari biaya angkut benih yang dipatok sebesar Rp 1.800 per ekor diduga mengalir ke kantong Edhy. Dakwaan Suharjito juga membeberkan bahwa Edhy meminta Rp 5 miliar supaya mendapatkan izin ekspor.