TEMPO.CO, Jakarta - Sebanyak 15 kelompok masyarakat sipil yang tergabung dalam Komite Pembela Hak Konstitusional (Kepal) mengajukan uji formil Undang-undang Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi. Salah satu yang disorot pemohon ialah tak dilibatkannya petani dan nelayan dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
"UU Cipta Kerja sesungguhnya tidak benar-benar bermaksud 'cipta kerja' bagi petani dan nelayan kecil, melainkan merombak UU terkait petani dan nelayan tanpa partisipasi dari petani dan nelayan," kata perwakilan Kepal, Agus Ruli Ardiansyah dalam keterangan tertulis, 19 November 2020.
Ruli mengatakan tidak terlibatnya petani dan nelayan ini selanjutnya berdampak buruk pada perlindungan hak-hak petani dan nelayan kecil, terbengkalainya cita-cita reforma agraria, tersanderanya kedaulatan pangan, melemahnya sistem perkebunan berkelanjutan, dan juga sistem pendidikan nasional.
"Hal ini menunjukkan UU CK bersifat diskriminatif sejak proses perencanaan, penyusunan, dan pembahasannya," kata Sekretaris Umum DPP Serikat Petani Indonesia (SPI) ini.
Ruli menilai pemerintah berupaya mengintegrasikan sistem pertanian, perkebunan, perikanan, pangan, pertanahan, air, hingga pendidikan ke dalam sistem pasar yang longgar dan sangat kental nuansa bisnis dan investasi lewat UU Cipta Kerja. Menurut dia, hal ini dikhawatirkan berdampak menghambat pemajuan sektor-sektor tersebut dan malah memundurkan semangat kedaulatan serta terlindunginya hak-hak warga negara.
UU Cipta Kerja, menurut dia, merupakan produk yang dipaksakan untuk disahkan sehingga melanggar peraturan perundang-undangan yang ada. Pemerintah, kata dia, bahkan meminta Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera membahas RUU Cipta Kerja itu.
Ruli mengatakan latar belakang sikap pemerintah ini salah satunya ialah adanya desakan dari World Trade Organization (WTO) untuk segera mengesahkan RUU Cipta Kerja. Kata dia, hal ini bisa dibuktikan dengan adanya surat pemerintah Indonesia yang dicatat di WTO Nomor WT/DS477/21/Add.13, WT/DS478/21/Add.13 pada 18 Februari 2020.