TEMPO.CO, Jakarta - Revisi Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) menuai kontroversi. Penyebabnya adalah proses pembahasan yang dilakukan tertutup dan dinilai tidak transparan.
UU MK pertama kali lahir 17 tahun lalu lewat UU Nomor 24 Tahun 2003. Aturan tersebut kemudian direvisi 8 tahun kemudian dan terbitlah UU Nomor 8 Tahun 2011. Kini, revisi kembali dilakukan setelah diusulkan oleh parlemen.
Pada 3 April 2020, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly melaporkan bahwa pemerintah telah menerima surat dari Ketua DPR Puan Maharani terkait revisi ini. Jokowi membalas surat itu pada 11 Juni 2020 dengan mengirimkan tiga menteri sebagai wakilnya untuk membahas.
Di sinilah mulai terjadi kontroversi, mulai dari proses pembahasan sampai materi dari revisi. Tempo merangkum sejumlah kontroversi yang terjadi, berikut di antaranya.
1. Empat Muatan Revisi
Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Adies Kadir mengatakan ada empat muatan dari revisi UU MK yang diusulkan DPR. Yakni kedudukan, susunan, dan kekuasaan Mahkamah Konstitusi, pengangkatan dan pemberhentian hakim MK, kode etik dan pedoman perilaku hakim konstitusi serta dewan etik hakim konstitusi, serta putusan MK.
"Dalam RUU MK ini DPR juga memandang perlu mengatur ketentuan peralihan agar jaminan kepastian hukum yang adil bagi pemohon dan hakim konstitusi yang sesuai yang saat ini masih mengemban amanah sebagai negarawan agar konstitusi tetap terjamin secara konstitusional," kata Adies.
Setelah berkirim surat ke DPR, pemerintah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam revisi ini pada 25 Agustus 2020. Total ada 121, di mana 101 di antaranya merupakan DIM yang dinyatakan tetap, tidak ada perubahan.
2. Ditargetkan Rampung Oktober 2020
Meski DIM baru masuk, Adies mengatakan revisi ini ditargetkan rampung Oktober 2020 atau dua bulan saja. Adies menilai tenggat waktu tersebut memungkinkan untuk merampungkan RUU MK. Menurut dia, poin-poin perubahan dan Daftar Inventarisasi Masalah revisi UU MK pun tidak banyak. "Mudah-mudahan cepat bisa selesai," kata politikus Golkar ini.
3. Dinilai Tidak Transparan
Sekretaris Nasional Public Interest Lawyer Network Indonesia, Erwin Natosmal Oermar, menilai revisi UU MK mencurigakan lantaran pembahasannya berlangsung tertutup dalam waktu yang cepat. "Proses revisi yang tidak transparan dan waktu yang cepat membuat publik patut curiga," kata dia.
Erwin menduga revisi ini hanyalah politik gula-gula dari pemerintah dan DPR kepada MK. Salah satu indikasinya adalah usul pemerintah agar hakim konstitusi yang menjabat saat revisi UU MK ditetapkan diperpanjang masa tugasnya hingga usia 70 tahun.
4. Nihil Naskah Akademis
Sementara itu, peneliti lembaga riset independen Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Violla Reinanda, menyoroti beberapa poin seperti kenaikan usia minimal hakim konstitusi, perpanjangan masa jabatan ketua, wakil ketua, serta hakim MK, hingga kenaikan usia pensiun.
Ia menyayangkan sikap DPR yang tidak menguraikan alasan perubahan tersebut dalam naskah akademik. "MK berpotensi menjadi perpanjangan tangan pembentuk UU di kekuasaan kehakiman yang dibarter dengan aturan-aturan soal masa jabatan," ujarnya.
5. Terkait Uji Materi
Erwin dan Violla kompak menyinggung sejumlah UU yang kini sedang atau akan digugat di MK. Erwin misalnya, mengatakan revisi ini patut dicurigai terkait UU tersebut, contohnya UU KPK. "Banyak RUU bermasalah yang akan diuji MK," kata dia.
6. DPR-Pemerintah Sepakat soal Usia
Meski dikritik, Adies menyebut usulan untuk memperpanjang usia hakim ini disepakati kedua belah pihak. Baik DPR, maupun pemerintah. Alasannya, ucap dia, hakim MK diharapkan seorang negarawan yang telah matang dan bijaksana.
Jika merujuk UU MK Nomor 24 Tahun 2003, usia minimal hakim MK ialah 40 tahun. Menurut Adies, pemerintah mengusulkan agar batas usia naik menjadi 55 tahun. Adapun pengusul RUU MK, Ketua Badan Legislasi Supratman Andi Agtas, sebelumnya mengusulkan usia minimum hakim MK menjadi 60 tahun.
"Tergantung pembahasannya di sini, enggak terpatok 60 (tahun). Bisa 55, bisa 57, nanti kami lihat landasan-landasannya," kata Adies.
7. Pembahasan Alot dan Tertutup
Meski menuai kritikan, pembahasan revisi terus berjalan. Rabu, 27 Agustus 2020, pembahasan oleh Panitia Kerja Komisi Hukum DPR untuk revisi UU MK itu berlangsung tertutup.
Anggota Panja Sarifuddin Sudding mengatakan pembahasan berlangsung dengan alot. Sudding sekaligus membantah revisi UU MK akan rampung dibahas pada hari ini.
Sebelumnya dalam jadwal DPR hari ini, tertulis bahwa akan ada agenda rapat Panja RUU MK terkait laporan tim perumus (Timus) atau tim sinkronisasi (Timsin) ke Panja untuk selanjutnya diambil keputusan.
“Belum, masih alot pembahasan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah),” kata Sudding melalui pesan singkat, Kamis, 27 Agustus 2020.
Baca juga: Serahkan DIM RUU Mahkamah Konstitusi ke DPR, Yasonna Minta Dibahas Hati-hati
FAJAR PEBRIANTO