Tjokro lantas memilih bekerja di sebuah pabrik gula di Jawa Timur, dan malam harinya ia manafaatkan untuk kursus teknisi atau montir.
Di masa-masa inilah, Tjokro mulai gencar mulai menulis pemikiran-pemikiran kritisnya secara berkala di media massa dan akhirnya membesarkan organisasi Sarekat Islam sebagai wadah pergerakannya melawan kolonial.
Dalam diskusi yang menghadirkan sejarawan sekaligus Sekretaris Departemen Sejarah FIB UGM Abdul Wahid juga Cicit HOS Tjokroaminoto, N Robbi Sepang, serta dimoderatori Redaktur Tempo Sunudyantoro itu, Bonnie mencatat bagaimana cerdiknya Tjokroaminoto. Terutama caranya membesarkan Sarekat Islam sebagai organisasi yang amat berpengaruh sekaligus tak berani disentuh pemerintah Belanda.
“Tjokroamintoro berhasil menyatukan hampir semua orang Islam saat itu, baik dari kalangan abangan dan putihan, organisasi ini menjadi amat besar,” ujar Bonnie yang mengkoreksi keanggotaan Sarekat Islam saat itu diperkirakan 2,6 juta orang.
Berhimpunnya berbagai elemen yang ada dalam Sarekat Islam saat itu, ujar Bonnie, secara tak langsung menunjukkan Tjokro sosok yang ekletik. Dia bisa mengambil hal yang baik dari semua hal yang ada, kemudian menyatukannya.
Menonjolnya sifat ekletik dalam diri Tjokro, membuat Bonnie yang mempelajari tokoh itu dari berbagai sumber, tak yakin Tjokro adalah sosok puritan atau memperjuangkan kemurnian berdasar agama bersama Sarekat Islam. Tjokro justru bisa menjadi tokoh sentral karena bisa berbaur dengan berbagai dimensi pemikiran baik yang bersifat kiri ataupun kanan.
Satu bukti Tjokro bukan sosok puritan, saat Sarekat Islam menggelar kongres pertama di Bandung pada 1916. Dari kongres itu berkembang cabang-cabang Sarekat Islam yang otonom dan menjadi momentum penting bagi organisasi itu mulai memiliki orientasi nasionalisme.
“Salah satu orang yang diminta berbicara dalam kongres Sarekat Islam pertama itu tak lain Henk Sneevliet, tokoh Belanda pendiri organisasi ISDV yang menjadi cikal bakal lahirnya PKI (Partai Komunis Indonesia),” ujar Bonnie.