TEMPO.CO, Jakarta-Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat dari Fraksi Partai Amanat Nasional Yandri Susanto menyatakan tak sepakat jika pembahasan amandemen Undang-undang Dasar 1945 yang akan dilakukan MPR periode 2019-2024 melebar. Yandri menilai amandemen konstitusi harus tetap berada di koridor yang telah direkomendasikan MPR periode 2014-2019.
"Kalau PAN itu prinsip yang sudah disepakati mari kita bahas, yang tidak menjadi pembahasan, ya, tidak disentuh," kata Yandri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin, 7 Oktober 2019.
MPR periode lalu telah merekomendasikan amandemen UUD 1945 yang diklaim terbatas pada pengembalian garis-garis besar haluan negara atau GBHN. Namun sejak awal, gagasan amandemen UUD 1945 ini dikhawatirkan menjadi kotak pandora yang akan menyasar pasal-pasal lain dalam konstitusi.
Ketua Fraksi Partai Nasdem MPR Johnny G. Plate berpandangan kembalinya GBHN harus dibahas secara komprehensif dan tak bisa sepotong-sepotong. Johnny menyebut salah satu hal yang harus dibahas ialah ihwal masa jabatan presiden.
Johnny mengklaim usulan pembahasan yang komprehensif itu muncul dari masyarakat. Kata dia, ada yang menyarankan agar masa jabatan presiden menjadi 1x8 tahun, 3x4 tahun, atau 3x5 tahun. Namun Johnny tak menjelaskan masyarakat mana saja yang dia maksud.
Berbeda dengan Johnny, Yandri menyebut tak ada rekomendasi semacam itu dari hasil MPR berkeliling kampus, bertemu para akademisi dan tokoh masyarakat. "Tidak ada terdengar hal itu, Presiden tetap dua periode, tetap dipilih secara langsung," kata Yandri.
Yandri menuturkan PAN pada prinsipnya sepakat dengan adanya GBHN. PAN menilai keberadaan GBHN perlu demi kesinambungan pembangunan di pusat dan daerah. Namun, kata dia, pelaksanaan amandemen UUD 1945 bergantung pada kesepakatan anggota MPR baru. Amandemen baru bisa dilakukan apabila diusulkan oleh sekurang-kurangnya tiga perempat anggota MPR.
BUDIARTI UTAMI PUTRI