INFO NASIONAL — Partai politik memiliki kedudukan penting dalam konstitusi. Salah satu fungsi dari partai politik adalah melakukan pendidikan politik. Namun, parpol belum melaksanakan pendidikan politik secara maksimal, baik kepada masyarakat maupun internal partai.
Demikian terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema "Partai Politik dan Pendidikan Politik" di Palembang, Sumatera Selatan, Sabtu, 20 Juli 2019. FGD yang merupakan kerja sama MPR dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya ini dihadiri Ketua Badan Pengkajian MPR Delis Julkarson Hehi, Wakil Ketua Badan Pengkajian Martin Hutabarat dan Rambe Kamarul Zaman.
Martin Hutabarat menjelaskan parpol memiliki tiga fungsi, yaitu menyiapkan kader untuk kepemimpinan nasional baik di legislatif maupun eksekutif, menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan pendidikan politik. "Pendidikan politik dilakukan kepada internal parpol dan kepada masyarakat," katanya.
Pendidikan politik kepada internal parpol, Martin melanjutkan, tampak dalam kaderisasi. Namun, kaderisasi ini tidak berjalan maksimal. "Ini terlihat dari pencalonan kepala daerah yang bukan kader terbaik parpol, bahkan mengambil kader parpol lain," ucapnya.
Pendidikan politik kepada masyarakat, Martin menambahkan, adalah mendorong masyarakat berpartisipasi dalam politik atau mengikuti pemilu. "Namun, seperti dalam pemilu, pemilih memilih karena faktor identitas atau agama. Ini terjadi karena parpol dan negara tidak memberikan pendidikan politik," ujarnya.
Rambe Kamarul Zaman juga mengungkapkan hal yang sama. Konstitusi menempatkan parpol pada kedudukan yang penting seperti tertuang dalam Pasal 6A, di mana pasangan capres dan cawapres diusung parpol dan gabungan parpol. Juga pasal 22E, di mana peserta pemilu legislatif adalah parpol.
Rambe mengatakan parpol melakukan pendidikan politik kepada masyarakat tentang memilih calon pemimpin, melihat latar belakang dan kemampuan calon. "Tetapi, pemilih justru memilih karena money politic. Ini menunjukkan gagalnya pendidikan politik kepada masyarakat," ucapnya.
Sementara itu, peserta FGD, Iza Rumesten, memaparkan bahwa parpol tidak memiliki format pendidikan politik yang jelas. "Kampanye akbar dalam pemilu bukanlah pendidikan politik, tetapi pengerahan dan mobilisasi massa. Ini bukan format pendidikan politik yang sebenarnya," katanya.
Menurut Iza, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang format pendidikan politik. Masih adanya golput juga memperlihatkan pendidikan politik yang belum berjalan maksimal. Pendidikan politik memiliki korelasi dengan partisipasi politik.
Peserta FGD lainnya, Indah Febriani, menyebutkan pendidikan politik belum berjalan maksimal karena dua faktor. Pertama, parpol sibuk dengan persoalannya sendiri (masalah internal). Kedua, parpol hanya mengejar kekuasaan.
"Selain itu muncul distrust kepada parpol, disebabkan banyak elit parpol termasuk ketua umum parpol terlibat kasus korupsi dan kasus lainnya. Parpol menjadi satu lembaga yang terkorup. Ini memunculkan antipati masyarakat. Pendidikan politik tidak berjalan maksimal karena adanya distrust dari masyarakat," katanya.
Pada akhir FGD, Ketua Badan Pengkajian, Delis, juga menyebutkan parpol bisa memanfaatkan media sosial (medsos) untuk pendidikan politik. "Kita harapkan media sosial bisa menjadi sarana pendidikan politik. Jadi, medsos bukan sebagai tempat penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian, tetapi untuk pendidikan politik," ujarnya. (*)