TEMPO.CO, Jakarta - Lokataru Foundation menilai masih ada sejumlah pekerjaan rumah bagi institusi Kepolisian Republik Indonesia di peringatan Hari Bhayangkara ke-73 yang jatuh pada hari ini, 1 Juli 2019. Peneliti Lokataru, Anis Fuadah, menyebut salah satu PR Polri adalah lepas dari gejolak politik elite.
Baca juga: Peringati Hari Bhayangkara, Jokowi: Buang Budaya Koruptif Polri
Anis menuduh Polri masih menjadi alat politik pemerintah. Ia mencontohkan maraknya penangkapan terhadap sejumlah tokoh oposisi jelang pemilihan presiden kemarin. Lokataru mencatat lebih dari 25 orang pendukung pasangan calon presiden oposisi, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, yang ditangkap polisi dengan dugaan penyebaran hoaks atau makar.
"Mereka melakukan penindakan hukum, tetapi golongan yang sama dengan mereka tidak ada penindakan hukum. Ini diskriminasi dalam proses hukum," katanya dalam diskusi Transisi Demokrasi Polri Belum Selesai, di kantor Lokataru Law and Human Right, Jalan Balai Pustaka I, Jakarta, Senin, 1 Juli 2019.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, kata Anis, Polri memang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Posisi ini dinilai sudah baik namun di sisi lain berisiko terjadi penyalahgunaan wewenang.
Ia mengingatkan jika letak polisi di dalam sebuah negara demokratis adalah institusi yang didirikan oleh sipil sebagai pelayan serta proteksi kepada masyarakat. Sebabnya Anis menekankan supaya polisi menyadari posisinya.
Wakapolri Komjen Polisi Ari Dono Sukmanto bertekad Polri mampu memelihara perannya sebagai penjaga keamanan, ketertiban dan mengayomi masyarakat. "Sesuai dengan kodrat, kepolisian ada itu untuk memelihara dan menciptakan keamanan dan ketertiban masyarakat. Maka, nilai-nilai luhur itu tentu harus kami jaga berkaitan dengan hari jadinya yang ke-73 ini," kata Wakapolri Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto di Jakarta, Senin.
AHMAD FAIZ | ANTARA