TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Riset Setara Institute Halili mengatakan bahwa kasus pelukis nonmuslim Slamet Jumiarto yang ditolak mengontrak di Dusun Karet, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, bukan fenomena tunggal aturan diskriminatif. "Begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat RT," kata Halili dalam siaran tertulisnya, Rabu, 3 April 2019.
Baca: Pelukis di Yogyakarta Ditolak Ngontrak karena Menganut Katolik
Slamet Jumiarto, seorang pelukis di Yogyakarta ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasannya, Slamet merupakan seorang penganut Katolik.
Penolakan ini berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pada 2015. Aturan itu melarang pendatang dari kalangan non-muslim dan aliran kepercayaan. Aturan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Bantul tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. Syaratnya adalah pendatang baru harus beragama Islam.
Halili menilai, ketentuan-ketentuan diskriminatif nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral (moral injury) atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan. Sehingga, pemerintah harus menghentikan eksklusi terhadap minoritas, dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif.
Belajar dari kasus Pleret Bantul, kata Halili, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet. Sebab, femomena di Dusun Karet bukan gejala unik. "Dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukinan yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu," ujarnya.
Menurut Halili, di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan. Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda.
Baca: DPRD Yogyakarta: Praktik Intoleransi Tak Boleh Terjadi Lagi
"Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia," katanya.