TEMPO.CO, Yogyakarta - Kasus penolakan pengurus Dusun Karet, Pleret Kabupaten Bantul pada warga non-muslim yang hendak tinggal mengontrak di dusun itu mendapat kecaman berbagai pihak. Tak terkecuali kalangan DPRD DIY menyesalkan masih adanya aksi intoleransi itu di Yogyakarta yang selama ini dianggap jadi miniaturnya Indonesia.
Berita terkait: Pelukis di Yogyakarta Ditolak Ngontrak karena Menganut Katolik
"Kasus di Dusun Karet menunjukkan masih terjadi praktek intoleransi di Yogya, kita sebagai warga negara tentu saja bersedih dan prihatin," ujar Ketua Komisi A DPRD DIY Eko Suwanto Selasa 2 April 2019.
Wakil Ketua Dewan Pimpinan Daerah PDI Perjuangan DIY itu menuturkan tidak seharusnya praktek intoleransi terjadi lagi di Yogya yang selama ini kental dengan iklim keberagaman dan kebhinekaan itu.
"Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Bantul bergerak cepat menjamin kerukunan dan keberagaman di wilayahnya, juga mencabut aturan diskriminatif di dusun Karet yang nyata-nyata bertentangan dengan Pancasila dan keistimewaan DIY," ujar Eko.
Eko yakin dan percaya masyarakat DIY adalah masyarakat yang cinta kerukunan, cinta bhinneka tunggal ika, dan cinta perdamaian serta biasa hidup berdampingan dengan berbagai perbedaan yang ada. "Masyarakat Yogya tentu akan menentang praktek intoleransi, apapun bentuknya karena bertentangan dengan Pancasila."
Sebelumnya Slamet Jumiarto, pelukis berusia 42 tahun, ditolak mengontrak di Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasannya, Slamet merupakan seorang penganut Katolik.
Penolakan itu dilakukan berdasarkan peraturan yang dikeluarkan pada 2015, dan berbunyi melarang pendatang dari kalangan non-muslim dan aliran kepercayaan. Aturan dikeluarkan oleh Lembaga Pemasyarakatan Desa Kelompok Kegiatan Dusun Karet Desa Pleret Kecamatan Pleret Bantul tentang Persyaratan Pendatang Baru di Pedukuhan Karet. Syaratnya adalah pendatang baru harus beragama Islam.
Penduduk Pedukuhan Karet juga keberatan menerima pendatang baru yang menganut aliran kepercayaan dan agama non-Islam. Bila pendatang baru tidak memenuhi ketentuan itu, maka ia mendapatkan sanksi berupa teguran lisan, tertulis, dan diusir dari Pedukuhan Karet.
Aturan tertanggal 19 Oktober 2015, ditandatangani Kepala Dusun Karet Iswanto dan Ketua Kelompok Kegiatan Dusun Karet Ahmad Sudarmi.
Eko mengatakan pada Undang-Undang Kesitimewaan DIY nomor 13 tahun 2012 pasal 5, salah satu tujuan pengaturan keistimewaan DIY adalah mewujudkan tata pemerintahan dan tatanan sosial yang menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Eko menambahkan selaku Ketua Komisi A DPRD DIY dia sudah bergerak dan berkoordinasi dengan Pemda DIY menyikapi praktek intoleransi di Dusun Karet Bantul itu. "Kami merekomendasikan kepada Bupati Bantul untuk berkoordinasi dengan instansi terkait agar peraturan yang diskriminatif tersebut segera dicabut serta menjamin terwujudnya kerukunan dan perdamaian ditengah masyarakat," ujar dia.
Dari kejadian intoleransi di Dusun Karet Bantul itu DPRD DIY juga mendesak Pemda DIY untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan permasalahan ini sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Terrmasuk mengambil kebijakan strategis agar tidak ada lagi praktek intoleransi yang meresahkan masyarakat.
"Kami harap Pemda DIY pro aktif mengusung semangat Keistimewaan DIY dengan membangun pendidikan Pancasila dan Keistimewaan DIY khususnya tentang usaha membangun Bhinneka Tunggal Ika agar terwujud masyarakat yang damai dan harmonis", ujar Eko Suwanto.
PRIBADI WICAKSONO | SHINTA MAHARANI (Yogyakarta)