TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Presiden Jusuf Kalla meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak khawatir dengan masuknya delik korupsi dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP. Lembaga anti rasuah tetap bisa berdiri selama ada Undang-Undang Tipikor.
JK mengatakan KUHP setelah direvisi dan UU Tipikor bisa berjalan beriringan seperti sebelumnya selama ini. Pengesahan RKUHP dengan delik korupsi di dalamnya tidak serta merta menghilangkan UU Tipikor.
Baca juga: Delik Khusus di RKUHP Masih Menyisakan Masalah
Dengan begitu, kata JK, dasar untuk KPK berdiri dan bertugas memberantas korupsi tetap terjaga. "Selama UU Tipikor tidak dicabut, maka tetap berlaku," kata dia di kantornya, Jakarta, Selasa, 5 Juni 2018.
JK mengatakan selama ini KUHP Indonesia didasarkan kepada KUHP Belanda. Aturan itu berlaku secara nasional dan disesuaikan dengan zamannya. "Setelah 100 tahun kita pakai KUHP itu ya disesuaikan dengan zamannya. Tidak berarti maka Undang-undang Tipikor itu tidak langsung berlaku," kata JK.
Baca juga: Delik Khusus di RKUHP Masih Menyisakan Masalah
KPK sebelumnya menyatakan ada potensi pelemahan lembaga anti rasuah dan pemberantasan korupsi jika delik korupsi dimasukkan dalam RKUHP. Lembaga anti rasuah itu menolak bahasan delik pidana khusus itu dalam RKUHP.
KPK menilai keinginan dari pemerintah dan DPR menyatukan delik pidana khusus dalam RKUHP merujuk kepada KUHP Belanda. Menurut KPK, kondisi korupsi yang terjadi di kedua negara ini tidak disamakan. Korupsi di Belanda tidak semasif di Indonesia.
Baca juga: Soal Pasal Tipikor di RKUHP, DPR Akan Cari Jalan Tengah
Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga menolak delik korupsi dimasukkan dalam RKUHP. Anggota Aliansi, Lalola Easter mengatakan kewenangan KPK untuk menyelidik, menyidik, dan menuntut sesuai UU KPK tak akan berlaku setelah RKUHP berlaku. Dalam Pasal 729 RKUHP, terbuka peluang bagi lembaga independen lain untuk menangani tindak pidana khusus. Namun Pasal 723 RKUHP kembali mementahkan kekuatan Pasal 729.
Lalola mengatakan, delik korupsi dalam RKUHP juga lebih banyak menguntungkan koruptor. Berdasarkan RKUHP per 8 Maret 2018, pidana denda pada tindak pidana korupsi dibuat lebih rendah dari UU Tipikor. Jika pidana denda dan pidana badan dijatuhkan secara kumulatif, pidana tersebut tidak boleh melampaui separuh batas maksimum kedua jenis pidana pokok yang diancamkan.
Baca juga: Aliansi Nasional Reformasi KUHP Tolak Delik Korupsi Masuk RKUHP
Pidana terhadap pelaku percobaan, pembantuan, dan permufakatan jahat korupsi pada RKUHP juga lebih rendah dari UU Tipikor. Pidana yang dijatuhkan tak lagi sama dengan pelaku pidana.
Kelemahan RKUHP lainnya adalah tak adanya pidana tambahan berupa uang pengganti seperti di UU Tipikor. Lalola menilai pidana itu seharusnya dipandang sebagai upaya pemulihan aset.