TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Nasir Djamil, mengatakan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme atau RUU Antiterorisme memasuki tahap akhir. Menurut dia, pembahasan menyisakan permasalahan tentang definisi yang diatur dalam RUU Antiterorisme.
"Semuanya hampir rampung. Tapi definisi yang belum selesai, ada perbedaan-perbedaan," kata Nasir, yang juga politikus Partai Keadilan Sejahtera, dalam diskusi Forum Legislasi di Media Center DPR, Selasa, 15 Mei 2018.
Baca: Pelibatan TNI Dalam RUU Antiterorisme Masih Jadi Polemik
Menurut Nasir, ada pihak yang menyatakan tidak perlu ada definisi dan ada juga yang mengharuskan. Nasir menilai perlu adanya definisi soal terorisme agar berdaulat pada penegakan hukum dalam menangani terorisme. "Karena terorisme ada unsur propaganda pihak asing. Bahkan intelijen bisa masuk ke jaringan terorisme internasional," kata dia.
Dinamika berkembang. Nasir mengatakan dalam pembahasan perkembangan yang menganggap jaringan terorisme tidak bisa ditaklukan dengan undang-undang lama. Ada empat kosakata, yang kata dia, yang berbeda. Yakni, terorisme, teror, kelompok terorisme, dan tindakan teror.
Menurut dia, definisi keempat kata tersebut berbeda. Sebab, kata Nasir, orang yang melakukan teror belum tentu masuk dalam kelompok terorisme. "Dan aksi-aksi teror yang dilakukan individu atau kelompok belum tentu terorisme," ujar dia.
Baca: Soal RUU Antiterorisme, Aisyiyah: Jangan Asal Ciduk Orang
Nasir juga menilai rumusan definisi soal terorisme penting agar pemerintah dan penegak hukum bisa lebih fokus. Selain itu, menurut dia, definisi juga dianggap bisa meminimalkan subyektifitas aparat dalam penanganan terorisme.
Dalam draft RUU Antitetorisme pada 18 April 2018, tertulis definisi terorisme adalah segala perbuatan yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan atau dengan maksud menimbulkan suasana teror atau rasa takut atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
Sedangkan definisi tindak pidana terorisme adalah segala bentuk perbuatan yang memenuhi unsur-unsur pidana sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang ini.
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang juga menjadi tim ahli dalam Panitia Khusus Pembahasan RUU ini, Poltak Partogi Nainggolan, menilai definisi itu tidak perlu. Ia menilai lambatnya pembahasan RUU Antiterorisme disebabkan oleh tak terpenuhinya syarat kuorum anggota panitia khusus dalam pembahasan.
Baca: Fadli Zon Sebut Beberapa Poin di RUU Terorisme yang Diperdebatkan
Partogi menilai selama ini pansus tidak serius. "Anggota saja susah dikumpulkan," ucapnya dalam diskusi yang sama. Dia menjelaskan persoalan bukan cuma definisi, tetapi juga penguatan data intelijen. "Penentuan definisi itu tidak membantu. Yang dikejar pidananya bukan ideologi."
Wakil Ketua Pansus RUU Teroris dari Fraksi PPP DPR RI, Arsul Sani, menyatakan pembahasan RUU Antiterorisme di semua negara pasti memakan waktu lama. Banyaknya aspirasi masyarakat yang jumlahnya banyak juga menjadi faktor lambatnya pembahasan. "Padahal RUU ini tidak lebih dari 20 pasal," ujarnya.
Sementara itu, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Wiranto, meminta masyarakat untuk tidak mempersoalkan RUU Antiterorisme itu. Menurut Wiranto, sejumlah poin dalam RUU Terorisme yang sebelumnya diperdebatkan kini sudah selesai. "Ini sudah selesai, enggak usah dipolemikkan lagi," kata dia, di Kantor Presiden, kemarin.
FRISKI RIANA