TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya melihat peluang calon presiden selain Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, yang telah dideklarasikan partainya sebagai calon presiden pada Pemilu 2019, masih terbuka. "Deklarasi Gerindra kemarin untuk menarik kembali pemilih dan menguji tingkat posisi elektoral Prabowo di tingkat puncak ketika memastikan dia maju," kata Yunarto saat dihubungi, Sabtu, 14 April 2018.
Ia melihat deklarasi Gerindra pada Rabu lalu belum memastikan apa pun dalam konstelasi pilpres. Alasannya, yang terjadi kemarin adalah baru istilah internal Gerindra. Menurut dia, maju atau tidaknya Prabowo akan ditentukan pada menit terakhir.
Baca juga: Syarat Usung Prabowo, PKS Ingin Cawapres dari Kadernya
"Sebelum ada pendaftaran KPU, belum ada kepastian," ucapnya. Sejauh ini, Gerindra belum mempunyai posisi tawar yang kuat karena tidak cukup memenuhi ambang batas pencalonan presiden sebanyak 20 persen jumlah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat. Gerindra mesti menggandeng partai lain untuk berkoalisi jika ingin mencalonkan Prabowo.
Menurut Yunarto, Gerindra sudah melakukan langkah yang tepat dengan mendeklarasikan Prabowo. Dengan deklarasi tersebut, partai berlambang Garuda itu akan lebih mudah melakukan konsolidasi internal. "Saya meyakini, kemarin, pengurus dan kader cenderung galau mendengar ketumnya belum pasti maju," ujarnya.
Selain itu, langkah yang ditempuh Gerindra tersebut juga bisa menarik kembali simpatisan yang kemarin sempat tercerai-berai. Sebab, Gerindra memang berkukuh ingin menjadikan Prabowo sebagai calon presiden, agar suara partai tidak tergerus pada Pemilu 2019. "Kalau langkah itu tidak dilakukan, bukan tidak mungkin simpatisan dan pemilih Gerindra akan kabur."
Yunarto menjelaskan, ada pola pada pemilu legislatif dan presiden yang dilakukan serentak. Jika kader partai mengajukan diri sebagai presiden, secara otomatis itu mengatrol suara partai. "Elektabilitas partai akan naik jika kadernya mencalonkan," tuturnya. "Gerindra ingin mengambil momen ini untuk mengukur seberapa besar elektabilitas puncaknya."
Jadi, kata dia, deklarasi kemarin tidak mengukur, apakah pantas atau tidak Prabowo berhadapan dengan Jokowi. Namun Gerindra ingin mempertahankan suara pada Pemilu 2019.
Nah, langkah ini yang terlihat ingin dicoba dengan deklarasi kemarin. Artinya, ucap dia, peluang calon lain, seperti mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, masih terbuka. "Sebab, kalau sendiri, Gerindra tidak punya arti apa pun."
Adapun Partai Keadilan Sejahtera sejauh ini belum menentukan sikapnya. PKS, tutur Yunarto, punya sembilan nama kadernya yang digodok untuk menjadi capres dan cawapres, yang notabene menjadi syarat jika mau berkoalisi dengan Gerindra.
Baca juga: Gerindra Deklarasikan Prabowo, PPP: Dua Spekulasi itu Patah
Partai lain yang belum menentukan sikap, seperti Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Amanat Nasional, dan Partai Demokrat, juga demikian. PKB, kata dia, pasti ingin mengajukan ketua umumnya, Muhaimin Iskandar, sebagai calon wakil presiden. Sedangkan PAN mengajukan Zulkifli Hasan.
"Prabowo sekarang belum punya posisi tawar," ujarnya. Sedangkan Demokrat terlihat masih melihat arah angin. Demokrat pasti mencari siapa yang mau membeli posisi Agus Harimurti Yudhoyono dalam posisi tawar yang lebih mahal lewat pembagian kekuasaan.
"Bukan tidak mungkin SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) bersifat pragmatis, masih bisa ke Jokowi atau Prabowo," ujarnya. "Segala sesuatu masih bisa terjadi pada masa injury time. Bahkan Demokrat bisa saja membangun poros ketiga karena melihat semuanya masih cair."